بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:
Apa kabar Saudaraku seiman?
Semoga Anda selalu dalam keimanan dan teguh di dalamnya sampai ajal menjemput. Allahumma amin.
Agama kita, Islam, mengharamkan kita, umat Islam, untuk menyerupakan diri dengan kaum kafir dalam seluruh jenis kekafirannya, baik itu di dalam perihal akidah, ibadah, kebiasaan atau tingkal laku yang merupakan ciri khusus mereka.
TERNYATA WAHAI SAUDARAKU SEIMAN…
BUKAN HANYA SEKEDAR EMOSIONAL AGAMA SAJA, GENGSI SAJA, TETAPI TERNYATA BERPENGARUH BESAR DALAM AKIDAH YANG SANGAT MENDASAR DALAM DIRI SEORANG MUSLIM.
Mari perhatikan penjelasan seorang alim besar di abad ke delapan hijriyyah, Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Al Harrany atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“إن الله تعالى جبل بني آدم بل سائر المخلوقات على التفاعل بين الشيئين المتشابهين، وكلما كانت المشابهة أكثر كان التفاعل في الأخلاق والصفات أتم، حتى يؤول الأمر إلى أن لا يتميز أحدهما عن الآخر إلا بالعين فقط، ولما كان بين الإنسان وبين الإنسان مشاركة في الجنس الخاص، كان التفاعل فيه أشد، ثم بينه وبين سائر الحيوان مشاركة في الجنس المتوسط، فلا بد من نوع تفاعل بقدره، ثم بينه وبين النبات مشاركة في الجنس البعيد مثلاً، فلا بد من نوعٍ ما من المفاعلة.
ولأجل هذا الأصل وقع التأثر والتأثير في بني آدم، واكتساب بعضهم أخلاق بعض بالمعاشرة والمشاكلة, فالمشابهة والمشاكلة في الأمور الظاهرة توجب مشابهة ومشاكلة في الأمور الباطنة على وجه المسارقة والتدريج الخفي, كما أن المشابهة في الظاهر تورث نوع مودة ومحبة وموالاة في الباطن، كما أن المحبة في الباطن تورث المشابهة في الظاهر، وهذا أمر يشهد به الحس والتجربة”
Artinya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan manusia bahkan seluruh makhluk untuk saling berinteraksi antara dua hal yang serupa, setiap kali keserupaan bertambah besar, maka sikap saling menyamai di dalam akhlak dan sifat akan semakin sempurna, sehingga perkara itu sampai-sampai tidak bisa dibedakan satu dari yang lainnya kecuali dengan mata kasat saja. Dan ketika antara manusia dengan manusia terdapat kesepakatan pada jenis yang khusus, maka sikap saling menyamai di dalamnya sangat kuat, kemudian antara ia (manusia) dengan seluruh makhluk terdapat partisipasi dalam jenis yang sedang, maka harus ada semacam interaksi sesuai dengan ukurannya, kemudian antara ia (manusia) dengan pohon akan terdapat partisipasi dalam jenis yang jauh misalkan, maka harus ada semacam saling interaksi.
Oleh karena dasar inilah, terjadi terpengaruh dan mempengaruhi pada anak manusia, dan sebagian mengambil akhlak sebagian yang lain, dengan saling bergaul, saling menyamai, maka sikap saling bergaul dan saling menyamai gaya di dalam perkara-perkara lahiriyyah, berkonsekwensi kesamaan dan keserupaan gaya di dalam perkara-perkara yang batin, secara tercuri dan perlahan-lahan tersembunyi, sebagaimana sikap menyerupakan di dalam perkara lahiriyah akan mewariskan semacam perasaan kasih sayang dan kecintaan serta loyalitas di dalam batin, sebagaimana pula kecintaan di dalam batin akan mewariskan sikap persamaan di dalam perkara lahiriah, hal ini adalah perkara yang dirasakan oleh panca indera dan sebuah uji coba.” Lihat Kitab Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim, 1/219.
Beliau juga berkata pada bagian lain menjelaskan tentang hikmah-hikmah dilarangnya meneyerupakan diri dengan orang-orang kafir:
إن المشاركة في الهدي الظاهر تورث تناسبًا وتشاكلاً بين المتشابهين يقود إلى موافقة ما في الأخلاق والأعمال، وهذا أمر محسوس، فإن اللابس ثياب أهل العلم يجد من نفسه نوع انضمام إليهم، واللابس لثياب الجند المقاتلة مثلاً يجد من نفسه نوع تخلّق بأخلاقهم، ويصير طبعه متقاضيًا لذلك، إلا أن يمنعه مانع.
ومنها أن المخالفة في الهدى الظاهر توجب مباينة ومفارقة توجب الانقطاع عن موجبات الغضب وأسباب الضلال والانعطاف إلى أهل الهدى والرضوان وتحقق ما قطع الله من الموالاة بين جنده المفلحين وأعدائه الخاسرين وكلما كان القلب أتم حياة وأعرف بالإسلام الذي هو الإسلام لست أعني مجرد التوسم به ظاهرا أو باطنا بمجرد الاعتقادات التقليدية من حيث الجملة كان إحساسه بمفارقة اليهود والنصارى باطنا أو ظاهرا أتم وبعده عن أخلاقهم الموجودة في بعض المسلمين أشد
ومنها أن مشاركتهم في الهدى الظاهر توجب الاختلاط الظاهر حتى يرتفع التمييز ظاهرا بين المهديين المرضيين وبين المغضوب عليهم والضالين إلى غير ذلك من الأسباب الحكمية
هذا إذا لم يكن ذلك الهدى الظاهر إلا مباحا محضا لو تجرد عن مشابهتهم فأما إن كان من موجبات كفرهم فإنه يكون شعبة من شعب الكفر فموافقتهم فيه موافقة في نوع من أنواع ضلالهم ومعاصيهم
فهذا أصل ينبغي أن يتفطن له والله أعلم “
“Bahwa keikutsertaan dalam keadaan lahiriyah akan mewariskan kesesuaian dan kesamaan antara dua yang serupa, yang akan mendorong kepada kesamaan dalam perihal akhlak dan perbuatan. Dan ini adalah perkara yang dapat dirasakan, makanya, seorang yang memakai pakaian seorang alim akan mendapati dari dirinya semacam perasaan bergabung dengan mereka dan seorang yang memakai pakaian seorang tentara perang misalkan, maka ia akan mendapati dari dirinya semacam sikap seperti sikap-sikap mereka (para tentara), dan akan menjadi tabiatnya yang menuntut akan hal itu kecuali ada yang menahannya.”
Dan dari hikmahnya adalah bahwa penyelisihan dalam sikap lahir mewajibkan perbedaan dan perselisihaan yang akan mengharuskan terputusnya dari hal-hal mengharuskan kemarahan dan sebab-sebab kesesatan dan terkait dengan orang-orang yang mendapatkan petunjuk serta kerelaan (dari Allah), dan perealisasian apa yang Allah telah putuskan berupa pertolongan antara tentara-Nya yang beruntung dan musuh-musuh-Nya yang merugi. Dan setiap kali hati lebih sempurna hidupnya dan lebih mengenal terhadap Islam, dan yang saya maksud bukan Islam yang hanya sekedar topeng baik secara lahir atau batin, hanya sekadar keyakinan yang ikut-ikutan secara umum, maka sikapnya untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashrani baik secara lahir ataupun batin lebih sempurna dan kejauhannya dari akhlak-akhlak mereka yang terdapat di tengah-tengah kaum muslim yang lebih kuat.
Dan termasuk dari hikmahnya adalah mengikuti mereka dalam perihal kebiasaan lahiriyah yang berkonsekwensi percampuran secara lahiriyah yang terangkat perbedaan antara orang-orang yang diberikan hidayah dan keredhaan dengan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang sesat, dan sebab-sebab lainnya yang merupakan hikmah.
Ini semua, jika perkara yang lahiriyyah tersebut bukanlah kecuali perkara yang benar-benar mubah, yang kalau seandainya dilepaskan dari menyamai mereka. Adapun jika hal tersebut termasuk dari hal-hal yang berkonsekwensi akan kekafiran mereka maka ia adalah cabang dari cabang-cabang kekafiran, maka mengikuti mereka di dalamnya adalah termasuk mengikuti di dalam salah satu jenis dari jenis-jenis kesesatan dan maksiat-maksiat mereka.” Lihat kitab Iqtidha’ Ash Shirat Al Mustaqim, 1/12.
Kesimpulan dari penjelasan beliau adalah:
1. Menyamai seseorang dalam perkara lahiriyah akan mengakibatkan kesamaan dengannya dalam perkara batin dan keyakinan
2. Menyamai seseorang dalam perkara lahiriyah akan mewariskan kecintaan, kasih sayang kepada orang tersebut di dalam hati
3. Menyamai seseorang dalam perkara lahiriyah akan mewariskan kesamaan dalam tingkah laku dan akhlak.
Jadi setelah ini, saudaraku seiman jangan heran;
Jika ada seorang muslim yang menyerupakan diri dengan seorang kafir, baik dalam perkara mengucapkan selamat Natal atau selamat tahun baru contohnya, maka seorang muslim tersebut akan;
– Menyamai orang kafir tersebut dalam keyakinannya atau minimal ia akan mengatakan: “Mengucapkan selamat natal tidak akan mengurangi keimanan”, sebagaimana yang terucap oleh sebagian orang di zaman ini.
– Timbul di dalam hatinya perasaan cinta, kasih sayang dan loyalitas terhadap orang kafir, atau minimal ia akan berkata: “Sudahlah jangan ribut, agama mereka juga kan berasal dari Tuhan “, atau mengatakan: “Tuhan mereka jugakan Allah, begitu saja koq repot”, atau ia akan mengatakan: “Sesama manusia harus saling menghormati, tidak boleh mengganggap salah agama lain.”
– timbul sikap dan kelakuan yang sama dengan orang kafir tersebut, seperti seorang anak-anak sekolahan yang muslim memakai baju sinterklas dengan dalih kerukunan beragama, atau para pedagang yang menjual aksesoris natalan atau tahun baru.
Saudaraku seiman…
Setelah ini Anda pahami, Anda tidak akan pernah bingung kenapa Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengharamkan atas kita, umat islam, untuk ikut andil dalam bentuk apapun dalam keyakinan, ibadah, kegiatan yang khusus dimiliki oleh orang kafir.
Di bawah ini terdapat beberapa ayat dan hadits yang menerangkan keharaman ikut andilnya seorang muslim dalam keyakinan, ibadah dan kegiatan khusus orang kafir:
Allah Ta’ala berfirman:
{ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (18) إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ (19) } [الجاثية: 18 – 20]
Artinya: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” “Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu Sedikit pun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang lalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” “Al Qur’an ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” QS. Al Jatsiyah: 18-20.
{ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ} [الحديد: 16]
Artinya: ” Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” QS. Al hadid: 16.
{وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } [الأنعام: 153]
Artinya: “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” QS. Al An’am:153.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ » . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ » .
Artinya: “Abu Sa’id Al Khudry meriwayatkan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh kalian akan benar-benar mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian, setapak demi setapak, sehasta demi sehasta, sampai jikalau mereka masuk ke dalam hewan Dhabb, niscaya kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka kaum yahudi dan nashrani?”, beliau menjawab: “(kalau bukan mereka) lalu siapa lagi?!”. HR. Bukhari.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلاَ بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الإِشَارَةُ بِالأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الإِشَارَةُ بِالأَكُفِّ ».
Artinya: “‘Amr bin Syua’ib meriwayatkan dari Bapaknya, bapaknya meriwayatkan dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan dari kami yang menyerupakan dirinya dengan selain kami, jangan serupakan diri kalian dengan kaum Yahudi atau Nashrani, sesungguhnya salamnya kaum Yahudi dengan isyarat memakai jari jemari dan salamnya kaum Nashrani dengan isyarat memakai telapak tangan.” HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 2194
Dan perlu saudaraku ketahui…
Bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dengan sabda ini:
لاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
Artinya: “Janganlah kalian menyerupakan diri dengan kaum Yahudi.”
Ada sebanyak lima riwayat yang shahih dalam beberapa kesempatan berbeda, bahkan mungkin lebih, hal ini menunjukkan penekanan akan keharaman seorang muslim untuk ikut andil dalam segala hal yang berkaitan khusus dengan orang kafir dalam kekhususannya.
Semga menjadi pelajan bagi kita semua bagaimana sebenarnya akibat buruk meniru-niru orang kafir. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Senin, 11 shafar 1434H, Dammam KSA.
Silahkan simak kajian dengan tema:
1. Dalil Keharaman ikut Andil dalam Hari raya orang kafir
2. Man Tasyabbaha biqaumin Fahuwa Minhum (01-02habis)
3. Jangan ikuti Orang kafir (Natalan dan Tahun baru)
4. Haramnya Muslim ikut Hari Raya Orang Kafir
Silahkan tonton juga videonya dengan tema:
1. Hukum menyerupakan diri dengan orang kafir (bagian 01)
2. Hukum menyerupakan diri dengan orang kafir (bagian 02 habis)