بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:
Masih membicarakan alasan yang digunakan untuk menyatakan adanya bid’ah hasanah:
3. Pemahaman yang keliru terhadap sebuah atsar:
ما رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
“Perkara yang dianggap oleh kaum muslimin baik maka hal itu di sisi Allah adalah baik“[1].
Jawaban terhadap pendalilan dengan atsar ini;
- Atsar ini adalah hanya perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bukan hadits yang shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata:
“(وروي) مرفوعاً عن أنس بإسنادٍ ساقطٍ، والأصح وقفه على ابن مسعودٍ”.
“Atsar ini diriwayatkan secara marfu’ (tersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan sanad yang sangat lemah dan yang paling benar adalah diriwayatkan secara mauquf (hanya sampai kepada) Ibnu Mas’ud”[2].
Jamaluddin Az Zaila’i rahimahullah berkata:
“غريب مرفوعا، ولم أجده إلا موقوفا على ابن مسعود”.
“Atsar ini gharib (asing) secara marfu’ dan aku tidak mendapatkannya kecuali secara mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu“[1].
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
“هذا الحديث إنما يعرف من كلام ابن مسعودٍ”.
“Hadits ini hanya dikenal dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu”[2].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“ليس من كلام رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، وإنما يضيفه إلى كلامه من لا علم له بالحديث، وإنما هو ثابت عن ابن مسعودٍ”
“(Ini) bukan dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan disandarkan kepada sabdanya seorang yang tidak ada pengetahuannya dengan hadits, dan ia adalah tetap dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.”[3]
Berkata Imam Al Albani rahimahullah:
لا أصل له مرفوعاً، وإنما ورد موقوفاً على ابن مسعود
“Tidak ada asal riwayatnya secara marfu’ akan tetapi diriwayatkan secara mauquf atas Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu“[4].
- Bahwa makna “kaum muslimin” yang ada di dalam atsar tersebut adalah kembali kepada para shahabat nabi radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana yang ditunjukkan dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إن الله نظر في قلوب العباد، فوجد قلب محمد – صلى الله عليه وسلم -خير قلوب العباد، فاصطفاه لنفسه، فابتعثه برسالته،ثم نظر في قلوب العباد، بعد قلب محمد، فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد، فجعلهم وزراء نبيه، يقاتلون على دينه، فما رأى المسلمون حسناً فهو عند الله حسن وما رأوا سيئاً، فهو عند الله سيئ”
“Sesungguhnya Allah melihat kepada hati-hati para hamba-Nya, maka Allah mendapati hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati para hamba, lalu Allah memilih beliau untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya kemudian Dia melihat kepada hati-hati para hamba setelah hati Muhammad, maka Allah mendapati hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba-Nya, lalu Allah menjadikan mereka penolong-penolong nabi-Nya, mereka memperjuangkan agamanya, apa yang dianggap kaum muslimin baik maka hal itu di sisi Allah adalah baik dan apa yang dianggap kaum muslimin buruk maka hal itu adalah buruk di sisi Allah”[5].
Jadi ال dalam kata المسلمون bukan untuk keumuman tetapi untuk perjanjian.
- Jikalau kalimat “kaum muslimin” di dalam atsar maknanya bukan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, maka berarti maksudnya adalah ijma’,
Al ‘Izz bin Abdis Salam rahimahullah berkata:
“إن صح الحديث عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، فالمراد بالمسلمين أهل الإجماع”
“Jika hadits ini shahih maka maksud “kaum muslimin” adalah para ahli ijma‘[6].
Mari perhatikan perkataan kebanyakan ulama yang menyebutkan atsar ini sebagai dalil ijma’
Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
قال ابن كثير:”وهذا الأثر فيه حكايةُ إجماعٍ عن الصحابة في تقديم الصديق، والأمر كما قاله ابن مسعودٍ”.
“Dan Atsar ini di dalamnya terdapat cerita tentang Ijma’nya para shahabat dalam pengedepanan Ash Shiddiq dan perkara sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.”
Ibnu Al Qayyim rahimahullah berkata setelah menyebutkannya dengan membantah orang-orang yang berdalil dengannya:
“في هذا الأثر دليل على أن ما أجمع عليه المسلمون ورأوه حسناً؛ فهو عند الله حسن، لا ما رآه بعضهم! فهو حجة عليكم”.
“Di dalam atsar ini terdapat dalil bahwa apa yang di sepakati oleh kaum muslim dan apa yang mereka anggap itu baik, maka hal itu disisi Allah adalah baik, bukan yang dianggap sebagian dari mereka, maka ia adalah pemberat atas kalian.”[7]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
” الخبر دليل على أن الإجماع حجة، ولا خلف فيه”.
“Riwayat ini adalah bukti bahwa ijma’ adalah hujjah pemberat dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.”[8]
Asy Syathibi rahimahullah berkata:
“إن ظاهره يدل على أن ما رآه المسلمون بجملتهم حسناً؛ فهو حسنٌ، والأمة لا تجتمع على باطلٍ، فاجتماعهم على حسن شيءٍ يدل على حسنه شرعاً؛ لأن الإجماع يتضمن دليلاً شرعياً”.
“Sesungguhnya lahirnya menunjukkan bahwa apa yang dianggap oleh kaum muslim secara menyeluruh baik, maka ia adalah baik, karena umat ini tidak berkumpul di atas kebatilan. Jadi, kesepakatan mereka atas kebaikan sesuatu menunjukkan kebaikannya secara syari’at, karena ijma’ mencakup dalil yang sayr’ie.”[9]
Ibnu Hazm berkata setelah menyebutkan perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
” فهذا هو الإجماع الذي لا يجوز خلافه لو تيقن، وليس ما رآه بعض المسلمين أولى بالاتباع مما رآه غيرهم من المسلمين، ولو كان ذلك لكنا مأمورين بالشيء وضده، وبفعل شيء وتركه معاً، وهذا محال لا سبيل إليه”
“Maka inilah dia ijma’ yang tidak boleh diselisihi, jika telah diyakini, dan bukan apa yang dianggap baik oleh sebagian kaum muslim lebih utama untuk diikuti dari apa yang dilihat oleh selain mereka dari kaum muslim. Kalau demikian adanya, niscaya kita akan diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu dan kebalikannya, melakukan sesuatu dan meninggalkannya secara bersamaan, dan ini mustahil, tidak ada jalan kepadanya.”[10]
Setelah disebutkan penjelasan-penjelasan para ulama di atas, maka kita tanyakan kepada mereka yang masih menyatakan adanya bid’ah hasanah dengan dalih riwayat di atas: “Apakah ada satu bid’ah yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin akan kebaikannya?”, maka jawabannya adalah tidak akan pernah ada.[11]
- Bagaimana mungkin berdalil dengan perkataan seorang shahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tentang adanya bid’ah hasanah, padahal beliau adalah seorang yang paling gigih melarang perbuatan bid’ah, beliaulah yang berkata:
“اتبعوا ولا تبتدعوا؛ فقد كفيتم، وكل بدعةٍ ضلالة” رواه الدارمي في سننه”
“Ikutilah dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka sungguh telah cukup bagi kalian, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[12]
Bersambung insyaallah…
Setiap Bid’ah Sesat (bag. 05)
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Ahad, 28 Rabiuts Tsani 1434H, Dammam KSA.
[1] HR. Ahmad 1/6379/84-85 (3600), cet. Ar Risalah dan lihat Kitab Al ‘Ilal, karya Ad Daruqthni 5/66-67
[2] Lihat: Kasyf Al Khafa’, karya ‘Ajluni (2/245).
[1] Lihat: Nashb Ar Rayah (4/133).
[2] Lihat kitab Al Wahiyat, no. 452
[3] Lihat kitab Al Furusiyyah, hal. 61
[4] Lihat: Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 2/17 (no. 533).
[5] HR. Ahmad
[6] Fatawa Al ‘Izz bin Abdis Salam (no. 9).
[7] Lihat kitab al Furusiyyah, hal. 60.
[8] Lihat kitab Raudhatu An Nazhir, hal. 86
[9] Lihat kitab Al I’tisham, 2/655.
[10] Lihat kitab AL Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, 6/197
[11] Lihat kitab Al Luma’ Fi Ar Radi ‘Ala Muhassin Al Bida’, hal. 30-31.
[12] HR. Ad Darimi di dalam kitab Sunan beliau.