بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:
Karena manisnya Ramadhan belum hilang, masih terasa indahnya beribadah di dalam Ramadhan, bahkan sebagian kaum muslim masih melanjutkan puasa setelah Ramadhan, sebagai penyempurna puasa Ramadhannya, yaitu Berpuasa 6 hari di bulan Syawwal.
Maka, pada kesempatan ini, dipaparkan salah satu pelajaran yang dapat diambil dari ibadah puasa yang baru kita lalui pada Ramadhan yang lalu.
Pelajarannya adalah, Ibadah puasa mengajari ikhlas yang sebenarnya.
Pengertian Ikhlas
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa pengertian ikhlas, diantaranya;
( الإخلاص ألا تطلب على عملك شاهداً غير الله ، ولا مجازياً سواه )
Artinya: “Ikhlas adalah kamu tidak menuntut seorang yang menyaksikan atas amalanmu selain Allah dan tidak mencari yang memberikan ganjaran atas amalanmu selain-Nya.” Lihat kitab Madarij As Salikin.
Ada yang lainnya mengartikan ikhlas dengan:
إفراد الله بالقصد في الطاعة.
“Menjadikan Allah satu-satunya yang dituju dalam ketaatan.”
استواء أعمال العبد في الظاهر والباطن.
“Sejajarnya amalan seorang hamba, baik di dalam lahir (terang-terangan) atau yang batin (tersembunyi).”
Bagaimana Belajar Ikhlas dari Ibadah Puasa?
Mari kita perhatikan hadits berikut;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى ». متفق عليه
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap amalan anak Adam dilipatkan, satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh lipat sampai tujuhratus kali lipat, Allah Azza wa Jalla berfirman: “Kecuali puasa, karena sesuangguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku Yang akan mengganjarnya, (karena) ia telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.” HR. Bukhari dan Muslim.
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah:
أن الصوم لا يقع فيه الرياء كما يقع في غيره حكاه المازري ونقله عياض عن أبي عبيد
“Bahwa puasa tidak terjadi di dalamnya riya’ sebagaimana terjadi pada selainnya, diceritakan oleh al Maziry dan dinukilkan oleh ‘yadh dari Abu ‘Ubaid.
قال القرطبي : لما كانت الأعمال يدخلها الرياء ، والصوم لا يطلع عليه بمجرد فعله إلا الله فأضافه الله إلى نفسه ولهذا قال في الحديث : (يدع شهوته من أجلي) .
“Berkata Al Qurthuby rahimahullah: “Ketika amalan-amalan (lain) dimasuki oleh riya’, sedangkan puasa tidak dapat dilihat dengan hanya melakukannya, kecuali Allah, maka Allah gandengkan puasa itu kepada diri-Nya, oleh sebab inilah Allah berfirman di dalam hadits: “Ia meninggalkan syahwatnya karena Aku.”
وقال ابن الجوزي : جميع العبادات تظهر بفعلها وقلّ أن يسلم ما يظهر من شوبٍ ( يعني قد يخالطه شيء من الرياء ) بخلاف الصوم .
Berkata Ibnul Jauzy: “Seluruh ibadah terlihat dengan melakukannya dan sedikit yang selamat yang terlihat dari duri (yaitu terkadang dicampuri oleh sesuatu dari riya’) berbeda dengan puasa.”
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قال الحافظ: “قد يفهم من هذا الحصر التنبيه على الجهة التي بها يستحق الصائم ذلك، وهو الإخلاص الخاص به, ثم قال: “وقد يدخل الرياء بالقول كمن يصوم ثم يخبر بأنه صائم، فدخول الرياء يكون بالقول، أما بقية الأعمال فإن الرياء قد يدخلها بمجرد الفعل”.
“Terkadang dipahami dari pembatasan ini, adalah peringatan atas sisi yang di dapatkan oleh seorang yang berpuasa, yaitu ikhlas yang khususnya padanya,”
kemudian beliau berkata: “Dan terkadang (puasa) masuk (ke dalamnya) riya’ dengan ucapan, seperti seorang yang berpuasa kemudian ia memberitahukan bahwa ia berpuasa, maka masuknya riya’ dengan ucapan, adapun sisa dari amalan-amalan lain, maka sesungguhnya riya’ terkadang masuk ke dalamnya hanya dengan melakukan.” Lihat kitab Fath Al Bary, 4/107
Berkata Syeikh Ibnu Ustaimin rahimahullah:
” وَهَذَا الحديثُ الجليلُ يدُلُّ على فضيلةِ الصومِ من وجوهٍ عديدةٍ :
الوجه الأول : أن الله اختصَّ لنفسه الصوم من بين سائرِ الأعمال ، وذلك لِشرفِهِ عنده ، ومحبَّتهِ له ، وظهور الإِخلاصِ له سبحانه فيه ، لأنه سِرُّ بَيْن العبدِ وربِّه لا يطَّلعُ عليه إلاّ الله . فإِن الصائمَ يكون في الموضِعِ الخالي من الناس مُتمكِّناً منْ تناوُلِ ما حرَّم الله عليه بالصيام ، فلا يتناولُهُ ؛ لأنه يعلم أن له ربّاً يطَّلع عليه في خلوتِه ، وقد حرَّم عَلَيْه ذلك ، فيترُكُه لله خوفاً من عقابه ، ورغبةً في ثوابه ، فمن أجل ذلك شكر اللهُ له هذا الإِخلاصَ ، واختصَّ صيامَه لنفْسِه من بين سَائِرِ أعمالِهِ ولهذا قال : ( يَدعُ شهوتَه وطعامَه من أجْلي ) .
“Dan hadits yang agung ini menuinjukkan keutamaan puasa dari beberapa sisi;
Yang pertama: Bahwa Allah mengkhususkan untuk diri-Nya puasa dari antara seluruh amalan, dan demikian itu karena kemuliaannya disisi-Nya dan kecintaan-Nya kepada puasa, dan terlihat ikhlas kepada-Nya Maha Suci Allah di dalamnya, karena ia adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabb-Nya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, karena seorang yang berpuasa ia berada disebuah temapt yang kosong dari orang-orang, memungkin baginya untuk mengkonsumsi apa yang diharamkan Allah atasnya dengan puas, lalu ia tidak menkonsumsinya, karena ia mengetahui bahwa ia memiliki seorang Rabb yang mengetahui dalam kesendiriannya, dan Allah telah mengharamkan hal itu atasnya, maka ia meninggalkannya karena Allah karena takut akan siksa-Nya, berharap pahala-Nya, oleh sebab inilah Allah mensyukurinya keikhlasan ini dan mengkhususkan puasanya untuk diri-Nya dibandingkan seluruh amalannya, oleh sebab inilah Allah berfirman: “Ia meninggakan syahwat dan makanannya karena Aku.” Lihat kitab Majalis Syahri Ramadhan, hal. 13.
Kalau Ikhlas, memang kenapa? Apa Kedudukan Ikhlas dalam agama Islam?
Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullah menjelaskan salah satu urgensi ikhlas dalam amal ibadah:
منزلته: الإخلاص هو أساس النجاح والظفر بالمطلوب في الدنيا والآخرة, فهو للعمل بمنزلة الأساس للبنيان, وبمنزلة الروح للجسد, فكما أنه لا يستقر البناء ولا يتمكّن من الانتفاع منه إلا بتقوية أساسه وتعاهده من أن يعتريه خلل فكذلك العمل بدون الإخلاص, وكما أن حياة البدن بالروح فحياة العمل وتحصيل ثمراته بمصاحبته وملازمته للإخلاص, وقد أوضح ذلك الله في كتابه العزيز فقال: {أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ, وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ}, ولما كانت أعمال الكفار التي عملوها عارية من توحيد الله وإخلاص العمل له سبحانه جعل وجودها كعدمها فقال: {وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُوراً}.
“Ikhlas adalah pokok dasar kesuksesan dan kemenangan dengan cita-cita di dunia dan akhirat, ia bagi amalan bagaikan pondasi untuksebuah bangunan dan bagaikan truh untuk jasad, maka sebagaimana bangunan tidak akan menetap dan tidak akan dapat diambil manfaat darinya kecuali dengan menguatkan pondasinya dan selalu menjaganya dari kerusakan yang terjadi padanya, maka demikian pula amalan tanpa ikhlas. Dan sebagaimana kehidupan badan dengan adanya ruh, maka kehidupan amal, pencapaian buah hasilnya dengan selalu menyertakan nya untuk keikhlasan, dan Allah telah menjelaskan akan hal itu dalam firman-Nya:
{أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ } [التوبة: 109]
Artinya: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” QS. At Taubah: 109.
Dan ketika amalan orang-orang kafir yang mereka lakukan terlepas dari mentauhidkan Allah, dan ikhlas beramal hanya kepada-Nya, maka Allah menjadikannya sebagai sesuatu seperti yang tidak ada, Allah berfirman:
{وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا } [الفرقان: 23]
Artinya: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” QS. Al Furqan: 23. lihat kitab Al Ikhlas, karya beliau, hal 50.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Kamis, 12 Syawwal 1433H, Dammam KSA.