بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:
Akhirnya sampai juga 10 hari terakhir dari Ramadhan bulan penuh berkah ini, hari-hari yang ditunggu oleh kaum muslim, hari-hari yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para salaf ash shalih menunggunya untuk lebih giat beribadah.
Agar tidak salah jalan, tidak keliru, padahal sudah banyak tenaga yang dikeluarkan, dan waktu yang terbuang, maka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di 10 hari terakhir dari Ramadhan adalah solusi paling tepat!
Di bawah ini sikap nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam jika di 10 terakhir dari Ramadhan:
1. Lebih semangat dan gigih dalam beribadah
عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa senantiasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sepuluh terakhir (bulan Ramadhan) bersungguh-sungguh tidak seperti bersungguh-sungguhnya pada lainnya.” HR. Muslim
Maksud dari “bersungguh-sungguh tidak seperti bersungguh-sungguhnya pada lainnya”:
– Bersungguh-sungguh di dalamnya mengerjakan ibadah di atas ibadah sebelumnya
Berkata Al Munawi rahimahullah:
أي يجتهد فيه من العبادة فوق العادة ويزيد فيها في العشر الأواخر من رمضان بإحياء لياليه.
“Maksudnya adalah bersungguh-sungguh dan menambah di dalam mengerjakan ibadah di atas ibadah sebelumnya pada sepuluh terakhir dari Ramadhan dengan menghidupkan malamnya.” Lihat kitab faidh Al Qadir, 5/260.
Berkata Al Mula Ali Al Qary rahimahullah:
والأظهر أنه يجتهد في زيادة الطاعة والعبادة ما لا يجتهد في غيره أي في غير العشر رجاء أن يكون ليلة القدر فيه أو للاغتنام في أوقاته والاهتمام في طاعته وحسن الاختتام في بركاته
“Dan yang lebih kuat (kemungkinannya) adalah bahwa beliau bersungguh-sungguh dalam menambah ketaatan dan ibadah tidak seperti sungguh-sungguh pada selainnya, yaitu selain sepuluh terakhir, berharap mendapatkan lailatul qadar di dalamnya atau menggunakan sebaik-baiknya terhadap waktu-waktunya dan memperhatikan ketaatan di dalamnya serta kebaikan akhir pada berkahnya.” Lihat kitab Mirqat Al Mafatih, 6/430.
– Menambah panjangnya rakaat tanpa menambah jumlah bilangannya.
Berkata Al Qasthalany rahimahullah:
يحمل على التطويل في الركعات دون الزيادة في العدد
“(Dapat) dimungkinkan maksudnya adalah tambahan panjang pada rakaat-rakaat shalat tanpa menambah pada jumlah bilangannya.” Lihat kitab Irsyad As Sary, 3/429.
Berkata Al Mubarakfury rahimahullah:
فَالْجَوَابُ أَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يُحْمَلُ عَلَى التَّطْوِيلِ دُونَ الزِّيَادَةِ فِي الْعَدَدِ
“Bahwa tambahan pada sepuluh terakhir yang (dapat) dimungkinkan maksudnya adalah, tambahan panjang pada rakaat-rakaat shalat tanpa menambah pada jumlah bilangannya.” Lihat kitab Tuhfat Al Ahwadzy, 3/440.
meskipun penulis lebih condong kepada yang membolehkan menambah jumlah rakaat pada shalat tarawih dan bolehny shalat tahajjud setelah shalat tarawih bersama imam, jika ada yang bangun malam untuknya. wallahu a’lam.
2. Menghidupkan malam dengan ibadah
3. Membangunkan keluarga (istri dan anak-anak)
4. Mengikat tali sarung
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika memasuki sepuluh terakhir (dari Ramadhan), menghidupkan malam, membangunkan kelurganya, bersungguh-sungguh dan mengikat tali sarungnya.” HR. Muslim.
– maksud dari menghidupkan malam
Berkata As Sindy rahimahullah:
بِالْقِيَامِ وَالْقِرَاءَة كَأَنَّ الزَّمَان الْخَالِي عَنْ الْعِبَادَة بِمَنْزِلَةِ الْمَيِّت وَبِالْعِبَادَةِ فِيهِ يَصِير حَيًّا فَإِذَا كَانَ حَال الزَّمَان كَيْف الْقَلْب
“Dengan bangun malam (beribadah) dan membaca (Al Quran), seakan waktu yang tidak terisi dengan ibadah sama kedudukannya dengan mayat dan ketika diisi dengan ibadah di dalamnya maka akan hidup, jika keadaan waktu (seperti ini) apalagi hati (yang tidak terisi dengan ibadah).” Lihat kitab Hasyiah As Sindy ‘ala Ibni Majah, 4/29.
Berkata An Nawawi rahimahullah:
وقولها أحيا الليل أى استغرقه بالسهر في الصلاة وغيرها
“Maksud perkataan ‘Aisyah “menghidupkan malam” adalah menggunakan dengan begadang di dalam shalat dan yang lainnya.” Lihat kitab Al Minhaj Syarah Shahih Muslim, 8/71.
Berkata Muhammad bin Ali Ash Shiddiqy Asy Syafi’ie rahimahullah:
أحيا الليل) أي قامه بأنواع العبادات من الصلاة والذكر والفكر، أو أحيا نفسه بالسهر فيه لأن النوم أخو الموت، وأضافه إلى الليل اتساعاً لأن النائم إذا حيى باليقظة حيى ليله بحياته
“Menghidupkan malam maksudnya adalah mengerjakan berbagai macam ibadah berupa shalat, dzikir, tafakkur atau menghidupkan dirinya dengan begadang di dalamnya, karena tidur adalh saudaranya kematian, dan digandengkan kepada malam sebagai keluasan karena seorang yang tidur jika hidup dengan bangun maka ia sudah membangunkan malamnya dengan kehidupannya.” Lihat kitab Dalil Al Falihin, 7/16.
Jika ada yang bertanya: “Bukankah dilarang untuk beribadah semalaman suntuk”, maka hal ini di jawab oleh An Nawawi rahimahullah:
وأما قول أصحابنا يكره قيام الليل كله فمعناه الدوام عليه ولم يقولوا بكراهة ليلة وليلتين والعشر ولهذا اتفقوا على استحباب احياء ليلتى العيدين وغير ذلك والله أعلم
“Adapun pendapat para sahabat kami (dari madzhab Syafi’ie) bahwa dimakruhkan bangun malam seluruh malam, maka maknanya adalah dikerjakan terus menerus dan mereka tidak berpendapat dimakruhkan satu malam, dua malam atau sepuluh malam, oleh sebab inilah mereka bersepakat akan dianjurkannya menghidupkan dua malam ‘ied.” Lihat kitab Syarah An Nawawi ‘ala Muslim, 8/71.
– maksud dari “mengencangkan sarung”
– في حديث قيام رمضان [ أحْيا الليلَ وشَدَّ المِئزرَ ] هو كناية عن اجْتِناب النِّساء أو عن الجدِّ والاجْتِهادِ في العمَل أو عنهما معاً
“adalah kiasan menghindari istri-istri atau kiasan bersungguh-sungguh di dalam beramal atau keduanya.” Lihat kitab An Nihayah Fi Gharib Al Astar, 2/1119.
وفي حديث الاعتكاف [ كان إذا دخل العشْر الأواخِرُ أيقظ أهلَه وشدّ المئزر ] المئزر الإزار وكَنى بشدّة عن اعتزال النساء . وقيل أراد تَشْميره للعبادة يقال شدَدْتُ لهذا الأمرِ مئزَرِي أي تَشَّمرتُ له
“Al Mi’zar artinya Al Izar, dan dikiaskan dengan kesungguhan menjauhi istri (tidak bergaul), dan dikatakan pula maksudnya adalah begadang untuk beribadah, disebut aku mengencangkan untuk perkara ini yaitu menguatkan untuknya.” Lihat kitab An nihayah fi Gharib Al Atsar, 1/94.
Berkata Al Mubarakfury rahimahullah:
والصحيح أن المراد به اعتزاله للنساء للإشتغال بالعبادات، وبذلك فسره السلف والأئمة المتقدمون، وجزم به الثوري واستشهد بقول الشاعر:
قوم إذا حاربوا شدوا مآزرهم عن النساء ولو باتت بأطهار
ويحتمل أن يراد التشمير للعبادة والاعتزال عن النساء معاً ويحتمل أن يراد الحقيقة
“Dan pendapat yang benar adalah bahwa beliau menjauhi istri-istri untuk menyibukkan diri dengan ibadah, dan dengan ini para salaf dan imam yang terdahulu menafsirinya bahkan Sufyan Ats tsaury menegaskan pendapat ini, beliau berdalih dengan perkataan seorang penyair:
“Suatu kaum jika mereka berperang mereka mengikat sarung mereka dari para istri walaupun tidur malam dengan kesucian.”
Dan dapat dimungkinkan dengan mengikat sarung adalah untuk beribadah dan menjauhi istri secara bersamaan, dan dimaksudkan juga yaitu secara sebenarnya.” Lihat kitab Mri’at Al Mafatih, 7/133.
5. I’tikaf (selalu berdiam diri di dalam masjid, dengan niat beribadah kepada Allah Ta’ala di dalamnya, dilakukan oleh seorang yang khusus, dengan syarat tertentu, dengan cara yang khusus, pada waktu yang tertentu)
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa beri’itikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah Azza wa Jalla mewafatkannya, kemudian para istri beri’tikaf setelah.” HR. Muslim.
6. Memperbanyak membaca doa:
« اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى ».
“Allahumma Innak ‘Afuwwun Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anni”
Artinya: “Wahai Allah, sesungguhnya Engkau mencintai maaf, maka maafkanlah daku.”
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو قَالَ « تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى ».
Artinya: “‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa pendapatmu, jika aku bertepatan dengan lailatul qadar, apa yang aku baca untuk berdoa: “Kamu mengucapkan: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى “Allahumma Innak ‘Afuwwun Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anni” (Wahai Allah, sesungguhnya Engkau mencintai keselamatan, maka selamatkanlah daku).” HR. Muslim.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Selasa, 19 Ramadhan 1433H, Dammam KSA