Targhib Wa Tarhib

Beberapa Alasan Menolak Kebenaran

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, و صلى الله و سلم وبارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Saudaraku pembaca yang budiman…
Kalau ada yang bertanya, “Kalau memang itu ajaran dan keyakinan  berdasarkan dari Al Quran dan As Sunnah serta dipahami oleh para shahabatradhiyallahu ‘anhum, lalu kenapa kebenaran itu tidak diikuti, diamalkan dan diajarkan, malah ditolak, dicela, diremehkan?”

Jawabannya saudaraku pembaca…
Ada beberapa perkara kenapa seseorang menolak kebenaran dan tidak mau mengikutinya alias “ngeyel” dalam kesalahan meskipun jelas-jelas keliru dan salah kaprah, perhatikan beberapa perkara berikut:
 
Pertama, Kebodohan
Kebodohan adalah penyakit mematikan, seseorang akan menjadi musuh yang paling sangar terhadap sesuatu yang ia bodoh di dalamnya, sebagaimana perkataan sebagian orang:
الناس أعداء ما جهلوا
“Manusia adalah musuh akan sesuatu yang ia tidak ia ketahui” 
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah mengatakan di dalam Nuniyyahnya:
والجهل داء قاتل وشفاؤه*** أمران في التركيب متفقان
نص من القرآن أو من سنة*** وطبيب ذاك العالم الرباني
“Dan kebodohan itu adalah penyakit yang mematikan, obatnya *** adalah dua perkara yang disepakati”
“(yaitu) nash dari Al Quran atau dari As Sunnah *** dan dokternya adalah seorang alim yang rabbani”

Dan kebodohan adalah salah satu tanda hari kiamat, mari perhatikan hadits di bawah ini:
(عن عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا)
Artinya: “Riwayat dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma,beliau berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan mencabutnya dari manusia akan tetapi mengambilnya dengan mewafatkan para ulama, sampai jika tidak tersisa satu orang alimpun maka akhirnya manusia menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh (sebagai pengganti ulama), lalu orang-orang yang bodoh tersebut ditanya dan memberi fatwa tanpa ilmu, maka akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” HR. Bukhari dan Muslim.
(عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ ، وَتَكْثُرَ الزَّلاَزِلُ ، وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ ، وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ ، وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ – وَهْوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ – حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمُ الْمَالُ فَيَفِيضُ)
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah hari kiamat datang sampai dicabut ilmu, banyak gempa, waktu saling mendekat, timbul fitnah-fitnah dan banyak al harj –yaitu pembunuhan, pembunuhan- sampai berlimpah diantara kalian harta sehingga berlimpah ruah.” HR. Bukhari.
 
Al Quran Al Karim sudah menjelaskan bahwa, orang yang mengetahui tidak akan sama dengan yang tidak mengetahui dari segala sisi dan hanya orang yang berakal berilmu yang dapat menerima pelajaran, mohon perhatikan ayat yang suci ini:
{قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ} [الزمر: 9]  
Artinya: “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?!” sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” QS. Az Zumar: 9.
 
Cara yang paling tepat untuk menghilangkan kebodohan ini adalah dengan menuntut ilmu dan selama ia menuntut ilmu maka selama itu pula ia dikatakan orang yang berilmu, coba perhatikan perkataan seorang ulama salaf yang terkenal dengan ilmunya yaitu Sa’id bin Jubair rahimahullah, beliau berkata:
(لاَ يَزَالُ الرُّجُلُ عَالماً مَا طَلَبَ العِلْمَ ، فَإِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ عَلِمَ فَقَدْ جَهِلَ)
Artinya: “Seseorang masih dikatakan alim selama ia menuntut ilmu, dan jika ia mengira bahwasanya ia telah mempunyai ilmu maka ia telah bodoh.” Lihat Tadzkirat As Sami’ wa Al Mutakallim, hal. 60.

Kedua, Taqlid buta terhadap kebiasaan nenek moyang yang salah
Kalau yang satu ini adalah kebiasaan orang-orang kafir, musyrik dan munafiq. Coba perhatikan firman Allah berikut ini:

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ} [البقرة: 170]
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqarah: 170)
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ } [لقمان: 21]
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqman: 21).
Dan perhatikanlah, bagaimana Nabi Ibrahim ‘alihis salam mendebat mereka akan kebiasaan buruk mereka, hal ini tertuang di dalam firman Allah Ta’ala:
{وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ عَالِمِينَ (51) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ (52) قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا لَهَا عَابِدِينَ (53) قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (54) قَالُوا أَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ أَمْ أَنْتَ مِنَ اللَّاعِبِينَ (55) قَالَ بَلْ رَبُّكُمْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الَّذِي فَطَرَهُنَّ وَأَنَا عَلَى ذَلِكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ (56) وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ (57)} [الأنبياء: 51 – 57]
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya”(51). “(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?”(52). “Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya”(53). “Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata”(54). “Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main”(55). “Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Rabb langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”(56). “Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”(57). QS. Al Anbiya’: 51-57.

Cukuplah cerita Nabi Ibrahim ‘alaihis salam ini sebagai pelajaran yang sangat berarti, bagi orang-orang yang masih bersikukuh dengan kebiasaan nenek moyangnya meskipun perbuatan nenek moyang tersebut sebuah kesalahan yang fatal.

 
Ketiga, Belum mendengar kebenaran sebelumnya, akhirnya kaget ketika diberitahukan akan kebenaran tersebut
 
Pada poin ini mari kita perhatikan perkataan kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam ketika mereka diajak untuk beriman hanya kepada Allah semata dan mempercayai bahwasanya beliau adalah seorang yang diutus oleh Allah untuk mereka:
{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ (23) فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُرِيدُ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَنْزَلَ مَلَائِكَةً مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ (24) إِنْ هُوَ إِلَّا رَجُلٌ بِهِ جِنَّةٌ فَتَرَبَّصُوا بِهِ حَتَّى حِينٍ (25)} [المؤمنون: 23 – 26]
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa(kepada-Nya)?”.(23) “Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab: “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.(24) “Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu”(25) QS. Al Mukminun : 23-25.
Sering kita mendengar, ada yang berkata: “Dia datang dengan sesuatu yang baru, kita tidak pernah mendengarnya dan mengenalnya”, mari kita perhatikan riwayat di bawah ini:
(عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عَبَّادٍ الدِّيلِىِّ – وَكَانَ جَاهِلِيًّا أَسْلَمَ – فَقَالَ: َرأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَصَرَ عَيْنِى بِسُوقِ ذِى الْمَجَازِ يَقُولُ « يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ تُفْلِحُوا ». وَيَدْخُلُ فِى فِجَاجِهَا وَالنَّاسُ مُتَقَصِّفُونَ عَلَيْهِ فَمَا رَأَيْتُ أَحَداً يَقُولُ شَيْئاً وَهُوَ لاَ يَسْكُتُ يَقُولُ « أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ تُفْلِحُوا ». إِلاَّ أَنَّ ورَاءَهُ رَجُلاً أَحْوَلَ وَضِىءَ الْوَجْهِ ذُو غَدِيرَتَيْنِ يَقُولُ: إِنَّهُ صَابِئٌ كَاذِبٌ. فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: ُمحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ يَذْكُرُ النُّبُوَّةَ. قُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ الَّذِى يُكَذِّبُهُ قَالُوا عَمُّهُ أَبُو لَهَبٍ)
Artinya: “Dari Rabi’ah bin Abbad Ad Daili –pada waktu itu termasuk dari orang Jahiliyyah kemudian masuk ke dalam agama Islam-, beliau bercerita: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mata kepalaku di pasar Dzil Majaz, beliau menyeru: “Wahai manusia, katakanlah laa ilaaha illallahu, maka kalian akan beruntung”, beliau memasuki gang-gangnya dan manusia mengerumuni beliau, tidak ada satupun yang mengatakan sesuatu dan beliau tidak diam, beliau berkata: “Wahai manusia, katakanlah laa ilaaha illallahu, maka kalian akan beruntung”, akan tetapi dibelakangnya ada seseorang yang juling mata, bagus wajah, rambutnya dibelah dua, ia berkata: “Sesungguhnya ia adalah murtad, pendusta”, aku bertanya: “Siapakah ini?” mereka menjawab: “Dia adalah Muhammad bin Abdullah, ia mengaku mendapatkan kenabian”, aku bertanya lagi: “Lalu siapakah ini?”, mereka menjawab: “Pamannya, Abu Lahab”. Hadits riwayat Imam Ahmad di dalam Musnad dan disebutkan oleh Imam Al Albani di dalam Shahihus Sirah An Nabawiyyah (hal:143).

Keempat, Ghuluw (Sikap terlalu berlebihan-lebihan) dalam mengagungkan seseorang melebihi kedudukan sewajarnya

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepada seseorang yang bernama Al Harts bin Al Huth: “Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenal karena orangnya akan tetapi ketauhilah kebenaran maka anda akan tahu orang yang mempunyai kebenaran”. Lihat kitab Talbis Iblis, hal: 101.

Kebenaran itu akan selalu ada dan ia adalah satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran seseorang, jadi kebenaran adalah sarana yang menilai seseorang, ia adalah timbangan dan standar kebenaran itu sendiri.

Ketauhilah… Semoga Allah merahmati kita selalu, bahwa ghuluw terhadap seseorang bisa menyebabkan butanya mata hati untuk membedakan antara yang benar dan salah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang umatnya untuk terlalu ghuluw terhadap seseorang sehingga tidak masuk kepada kehancuran yang di dapatkan umat-umat sebelum umatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
(عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما سَمِعَ عُمَرَ – رضى الله عنه – يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ: سَمِعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لاَ تُطْرُونِى كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ »)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau telah mendengar Umar radhiyallahu ‘anhu berkata diatas mimbar: “Aku telah mendengar Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian berlebihan memuji-muji aku sebagaimana orang-orang Nashrani memuji Isa bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hanya hamba, maka katakanlah: “Hamba Allah dan utusan-Nya”. Hadits riwayat Al Bukhari, no. 3445.
 
Ghuluw mendatangkan akibat yang sangat buruk, coba perhatikan –semoga Allah merahmati kita-:
{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ} [التوبة: 31]
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” QS. At Taubah: 31.
 
Akibat buruk ini juga sangat dimengerti oleh para shahabat Nabi Muhammad ridhwanullahi ‘alaihim, mari kita perhatikan perkataan pakar tafsir yang disebut habrul ummah oleh para ulama, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika ada orang menentang As Sunnah dengan perkataan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma:
(يُوشكُ أَنْ تَنزلَ عَليكُم حِجارة من السماءِ ؛ أَقولُ لَكُم : قالَ رسولُ الله- صلى الله عليه وعلى آله وسلمَّ- وتقُولونَ : قالَ أَبو بكر وعُمر )
Artinya: “Hampir saja turun kepada kalian batu-batuan dari langit, aku mengatakan kepada kalian: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda”, tapi kalian malah mangatakan: “Abu Bakar dan Umar berkata (demikian).” Hadits riwayat Ahmad (no. 3121).

Dan tidak bersikap ghuluw terhadap seseorang juga dipraktekkan oleh para imam ahlus sunnah, diantaranya imam ahlus sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah ketika beliau ditanya tentang penulisan buku-buku filsafat, beliau menyarankan untuk menulis hadits dan riwayat-riwayat saja, lalu si penanya menyatakan bahwa Abdullah bin Mubarak –seorang imam, ahli ilmu, ibadah, wara’, zuhud yang sangat terkenal di zamannya, rahimahullah menulis akan hal tersebut, lalu dijawab oleh Imam Ahmad rahimahullah:
ابْنُ المُبَارَك لَمْ يَنْزِلْ مِنَ السَّمَاءِ إِنَّمَا أَمَرَنَا أَنْ نَأْخُذَ العِلْمَ مِنْ فَوْق
Artinya: “Ibnul Mubarak tidak turun dari langit, kita hanya diperintahkan mengambil ilmu dari fauq (Artinya dari atas dan maksudnya berasalkan dari Al Quran dan As Sunnah).” Lihat kitab: Thabaqat Al Hanabilah (1/131).   

Kelima, Bertaqlid kepada seorang pandai tapi sesat atau ahli ibadah yang bodohAllah Ta’ala berfirman di dalam Al Quran Al Karim:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ } [التوبة: 34]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari al ahbar (orang-orang alim Yahudi) dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” QS. At Taubah: 34.
 
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “As Suddi berkata: “Al Ahbar dari Yahudi dan ar rahib dari Nashrani”, dan memang maknanya adalah seperti yang dikatakan, karena sesungguhnya al ahbar adalah para ulama Yahudi, sebagaimana firman Allah Ta’ala di dalam surat Al Ma-idah ayat 63″.
Kemudian beliau berkata juga: “Dan maksud dari ayat ini adalah peringatan dari para ulama buruk dan para ahli ibadah yang menyesatkan, sebagaimana perkataaan Sufyan bin ‘Uyainah: “Siapa yang rusak dari para ulama kita maka di dalam dirinya ada persamaan dengan orang-orang Yahudi dan siapa yang rusak dari para ahli ibadah kita maka di dalam dirinya ada persamaan dengan orang-orang Nashrani”. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir (4/137-138).
 
Keenam, Kesombongan
Sebagian manusia menolak kebenaran karena sebuah sifat yaitu al kibru atau kesombongan, Allah Ta’ala kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan kepada umat Islam akan buruknya sifat kesombongan, mari kita perhatikan nash-nash di bawah ini:
– Allah tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri:
{إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ} [النحل: 23]
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. QS. An Nahl: 23.
– Ayat yang lain:
{مَا خَلْقُكُمْ وَلَا بَعْثُكُمْ إِلَّا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ} [لقمان: 28]
Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” QS. Luqman: 18.

– Orang-orang yang sering mendebat ayat-ayat Allah, di dalam diri mereka ada kesombongan:

{إِنَّ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ إِنْ فِي صُدُورِهِمْ إِلَّا كِبْرٌ مَا هُمْ بِبَالِغِيهِ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [غافر: 56]
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS. Ghafir: 56.
– Surga bukan tempat bagi orang-orang yang sombong dan menginginkan kedudukan tinggi di dunia
{ تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ } [القصص: 83]
Artinya: “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” QS. Al Qashash: 83.
 
– Tidak masuk surga seseorang yang mempunyai sifat sombong meskipun sedikit
(عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ »)
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat dzarrah.” Hadits riwayat Muslim (no. 91) dan At Tirmidzi (no. 2130).
 
Ibnu Hajar berkata: “Makna dzarrah, dikatakan adalah sesuatu yang paling kecil ditimbang dan dikatakan pula adalah sinar yang terlihat di cahaya Matahari seperti ujung jarum, dikatakan pula maknanya adalah semut kecil.” Lihat: Fathul Bari, karya Ibnu Hajar (1/70).
 
– Akibat sombong kebenaran ditolak dan manusia direndahkan
(الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ)
Artinya: “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. Hadits riwayat Muslim (no. 91).
Imam Muhammad bin Ahmad Adz Dzahabi rahimahullah berkata: “Sebagian salaf Ash Shalih (Orang-orang terdahulu dari para shahabat, tabi’in dan tabi’ at tabi’in ) mengatakan: “Dosa pertama kali yang dimaksiati Allah dengannya adalah kesombongan, Allah Ta’ala berfirman:
{وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ} [البقرة: 34]
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. QS. Al Baqarah: 34. 

Imam Adz Dzahabi berkata: “Maka barangsiapa yang menyombongakan diri sebagaimana yang dikerjakan oleh Iblis maka tidak akan bermanfa’at keimanannya.” (Lihat: Al Kabair, karya Imam Adz Dzahabi hal. 194)

 
Ketujuh, Fanatisme (At Ta’ashshub)
Kebenaran akan ditolak jika terdapat sikap fanatisme di dalam menghadapi sebuah perkara, karena sifat fanatisme ini akan menjadikan ditolaknya argumen atau pendapat yang  tidak sesuai dengan pegangan seseorang yang mempunyai sikap fanatisme.

Kedelapan, Hasad
Orang Yahudi tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallambukan karena tidak mengetahui bahwasanya beliau adalah Rasulullah akan tetapi salah satu sebabnya adalah hasad. Perhatikan cerita ini:

Ibnu Hisyam di dalam kitab sejarahnya menyebutkan sebuah cerita tentang Ummul Mukminin Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Aku adalah anak yang paling dicintai oleh bapakku dan pamanku Abu Yasir, tidak pernah sama sekali aku bertemu dengan keduanya dan mereka berdua bersama anak mereka, kecuali aku diikutkan, kemudian ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai ke kota Madinah, dan singgah di daerah Quba, tempatnya Bani ‘Amr bin ‘Auf, pergilah bapakku Huyay bin Ahkthab dan pamanku Abu Yasir bin Akhthab pada waktu pagi hari, dan mereka tidak pulang kecuali ketika menjelang terbenam matahari, mereka berdua datang dalam keadaan capek dan letih, berjalan dengan pelan sekali. Lalu aku menemui mereka berdua dengan senang hati sebagaimana biasanya, maka demi Allah tidak satupun dari keduanya menoleh kepadaku, akibat rasa susah yang mereka rasakan, dan aku mendengar pamanku bertanya kepada bapakku Huyay bin Akhthab: “Apakah memang benar dia (yaitu Nabi yang dijanjikan di dalam kitab Taurat-pent)?”, bapakku menjawab: “Iya, demi Allah”, pamanku bertanya lagi: “Apakah kamu mengetahuinya dan menetapkannya?”, dijawab oleh bapakku: “Iya”, kemudian pamanku bertanya: “Lalu bagaimana sikap yang ada di dalam dirimu tentangnya?”, bapakku menjawab: “Memusuhinya selama aku masih hidup”. Lihat: As Sirah An Nabawiyyah, karya Ibnu Hisyam (1/518-519).

Cerita dengan alur yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya tentang seorang shahabat yang bernama Abdullah bin Salam yang masuk Islam, setelah beliau mengajukan beberapa pertanyaan kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam kemudian dijawab oleh beliau dengan jawaban yang benar dan akhirnya Abdullah bin Salam menyatakan dirinya masuk ke dalam Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi ia berkata kepada Nabi Muhammad shallallhu ‘alaihi wasallam:
(يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ الْيَهُودَ قَوْمٌ بُهُتٌ ، فَاسْأَلْهُمْ عَنِّى قَبْلَ أَنْ يَعْلَمُوا بِإِسْلاَمِى ، فَجَاءَتِ الْيَهُودُ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَىُّ رَجُلٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلاَمٍ فِيكُمْ » . قَالُوا خَيْرُنَا وَابْنُ خَيْرِنَا وَأَفْضَلُنَا وَابْنُ أَفْضَلِنَا . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَسْلَمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلاَمٍ » . قَالُوا أَعَاذَهُ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ . فَأَعَادَ عَلَيْهِمْ ، فَقَالُوا مِثْلَ ذَلِكَ ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ عَبْدُ اللَّهِ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ . قَالُوا شَرُّنَا وَابْنُ شَرِّنَا . وَتَنَقَّصُوهُ . قَالَ هَذَا كُنْتُ أَخَافُ يَا رَسُولَ اللَّهِ)
Artinya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi adalah orang-orang penipu, maka tanyalah mereka sebelum mereka mengetahui tentang bahwa aku sudah Islam.” Kemudian datanglah orang-orang Yahudi dan ditanya oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bagaimanakah menurut kalian Abdullah bin Salam?” mereka menjawab: “(Dia adalah) orang yang paling baik dari kami dan anak dari seorang yang paling baik”, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallambertanya lagi: “Bagaimana pendapat kalian jika Abdullah bin Salam masuk Islam?”mereka menjawab: |“Semoga Allah melindunginya dari hal itu,” kemudian Nabi mengulangi pertanyaan beliau dan dijawab dengan jawaban yang sama, maka keluarlah Shahabat Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu menuju mereka dan mengucapkan: “Asyhadu an laa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadar Rasulullah,” lalu orang-orang Yahudi berkata: “(Dia adalah) orang yang paling buruk diantara kami dan anak yang paling buruk diantara kami.” Dan merekapun merendahkannya (Abdullah bin Salam), dan beliau berkata: “Hal inilah yang aku takutkan, wahai Rasulullah.” Hadits riwayat Bukhari (no. 3329).

Kesembilan, Keyakinan seseorang bahwa menerima kebenaran akan menjauhkan  kedudukannya
Mari kita perhatikan hadits di bawah ini, semoga Allah Ta’ala memberikan ilmu yang bermanfa’at bagi kita dan seluruh kaum muslimin:
“Dari shahabat Abdullah bin Abbasradhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, saya telah diberitahukan oleh Abu Sufyan dari mulutnya langsung ke mulut saya, beliau berkata: “Aku pergi tatkala ada perkara antaraku dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, suatu saat ketika aku berada di negeri Syam didatangkan surat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallamkepada Heraklius, yang membawanya adalah Dihyah Al Kalbi radhiyallahu ‘anhu,kemudian diberikan kepada raja Bushra dan raja Bushra memberikannya kepada Heraklius, kemudian Heraklius berkata: “Apakah disini ada orang yang berasal dari kampung orang yang mengaku dirinya nabi ini?” lalu orang-orang pun menjawab:“Iya”, kemudian aku dipanggil bersama sebagian orang-orang Quraisy lalu aku masuk menemui Heraklius, kemudian kami didudukkan di hadapannya, dan ia bertanya:“Siapakah di antara kalian yang paling dekat keturunannya dengan orang yang mengaku menjadi nabi itu?” Kemudian aku (Abu Sufyan) menjawab: “Saya,” kemudian mereka mendudukkanku di depannya, dan mendudukkan kawan-kawanku di belakangku. Kemudian ia memanggil ahli terjemahnya dan berkata: “Katakan kepada mereka, aku akan bertanya tentang orang yang mengaku sebagai Nabi tersebut, jika orang ini berbohong maka dustakanlah ia”, berkata Abu Sufyan: “Demi Allah, jikalau mereka tidak menghalangiku untuk berbohong maka niscaya aku bohongi mereka,” kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: “Tanya dia, bagaimanakah keturunannya diantara kalian?” aku menjawab: “Ia diantara kami adalah orang yang mempunyai keturunan yang tinggi,” ia bertanya: “Apakah nenek moyang keturunan dari raja?” aku jawab: “Tidak,” lalu ia bertanya: “Apakah pernah kalian menuduhnya berbohong sebelum ia mengatakan apa yang ia katakan sekarang?” aku jawab:“Tidak”, ia bertanya: “Apakah yang mengikutinya orang-orang yang terhormat atau orang-orang yang lemah dari mereka?” aku menjawab: “Yang mengikutinya adalah orang-orang yang lemah” ia bertanya: “Apakah mereka bertambah banyak atau berkurang?” aku menjawab: “Tidak, bahkan bertambah,” ia bertanya: “Apakah ada seseorang yang murtad dari agamanya setelah masuk ke dalamnya, disebabkan marah terhadapnya?” aku menjawab: “Tidak,” Ia bertanya: “Apakah kalian memeranginya?” aku menjawab: “Iya” ia bertanya: “Lalu bagaimanakah peperangan kalian melawannya?” aku menjawab: “Peperangan diantara kami dan dia seimbang, dia bisa mengalahkan kami dan kami bisa mengalahkannya,” ia bertanya: “Apakah dia mengingkari perjanjian?” aku menjawab: “Tidak dan kami pada masa perjanjian ini tidak mengetahui apa yang ia kerjakan,” ia berkata: “Demi Allah aku tidak mengatakan kecuali hal ini,” ia bertanya: “Apakah ada yang mengatakan perkataan ini sebelumnya?” aku menjawab: “Tidak,” kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya, aku telah bertanya kepada Anda tentang keluarganya diantara kalian dan anda mengaku bahwasanya ia (yang mengaku jadi nabi-pent) diantara kalian mempunyai keluarga yang mulia, dan demikian pula para rasul diutus di dalam kemuliaan leluhurnya, dan saya telah bertanya kepada anda, apakah di dalam nenek moyangnya adalah seorang raja, maka anda mengaku tidak, lalu aku katakan jikalau dari nenek moyangnya ada seorang raja, maka aku katakan ia meminta kerajaan nenek moyangnya, dan saya bertanya kepada anda tentang pengikutnya, apakah orang-orang yang lemah atau yang mulia, lalu anda menjawab orang-orang yang lemah mereka maka mereka adalah pengikut para rasul, dan saya bertanya kepada anda, apakah kalian menuduhnya berbohong sebelum ia mengatakan apa yang ia katakan, maka anda mengaku tidak, maka akupun mengetahui bahwasanya ia tidak pernah meninggalkan dusta kepada manusia kemudian ia berdusta terhadap Allah, dan saya bertanya kepada anda, apakah ada seorang dari mereka yang murtad dari agamanya setelah ia masuk ke dalamnya disebabkan karena murka kepadanya, maka anda menjawab tidak, maka demikianlah iman jika bercampur dengan kelegaan hati, dan saya bertanya kepada anda apakah mereka bertambah atau berkurang, maka anda menjawab bahwasanya mereka bertambah jumlahnya, demikianlah keimanan ketika sempurna, dan saya bertanya kepada anda, apakah kalian memeranginya, maka anda mengaku bahwasanya kalian memeranginya dan peperangan diantara kalian dengannya seimbang, ia bisa mengalahkan kalian dan kadang kalian mengalahkannya maka demikianlah para rasul diberi ujian, kemudian akhirnya bagi mereka kesudahan perkara, dan saya bertanya kepada anda apakah ia melanggar perjanjian maka anda mengaku bahwasanya ia tidak melanggar perjanjian, dan demikian pula para rasul mereka tidak mengingkari perjanjian, dan saya bertanya kepada anda, apakah ada seseorang yang mengatakan seperti perkataan ini sebelumnya, maka anda mengaku tidak, maka saya mengatakan jikalau ada seseorang telah mengatakan perkataan ini sebelumnya maka akan saya katakan bahwa ia mengikuti sebuah perkataan yang dikatakan sebelumnya,” kemudian ia bertanya: “Dengan apa ia menyuruh kalian?”maka aku jawab: “Menyuruh kami mengerjakan shalat, membayar zakat, menyambung tali silaturrahim, dan memiliki sifat ‘afaf” (tidak meminta-minta), kemudian ia berkata: “Jika benar apa yang anda katakan maka ia sesungguhnya adalah seorang nabi, dan aku telah mengetahui bahwasanya ia akan benar-benar datang, dan aku tidak mengira bahwasanya ia dari kalian (orang Arab). Jikalau aku mengetahui aku bisa menemuinya maka sungguh aku akan mencintainya, dan seandainya aku di sisinya niscaya aku akan basuh kedua telapak kakinya, dan sungguh pasti kekuasaannya akan sampai kepada apa yang di bawah kedua telapak kakiku.” Kemudian ia meminta surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu membacanya, di dalamnya tertulis: “Dengan Nama Allah Ar Rahman Ar Rahim, dari Muhammad Rasulullah kepada Heraklius pemimpin agung Romawi, semoga keselamatan atas yang mengikuti petunjuk, Amma ba’du: sesungguhnya saya mengajakmu dengan panggilan Islam, masuklah ke dalam agama Islam maka anda akan selamat, dan masuklah ke dalam Islam maka Allah akan memberikan kepadamu dua kali lipat ganjaran, dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya atasmu dosa Al Arisiyyin.”  (Maksudnya adalah para petani dan para tukang kebun di daerah itu, lihat: Fath Al Bari, karya Ibnu Hajar (12/412) dan Al Minhaj Syarah Shahih Muslim (6/226).

Dan Allah berfirman:
{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ} [آل عمران: 64]
Artinya: “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” QS. Ali Imran: 64.

Setelah membaca surat orang-orang di sekitarnya saling bersahutan dengan suara keras dan terjadi kegaduhan, lalu kami diperintahkan untuk keluar. Aku berkata kepada kawan-kawanku ketika kami keluar, perkara Ibnu Abi Kabsyah (Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang kafir Quraisy menjulukinya seperti itu sebagai ejekan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lihat: Fath Al Bari, karya Ibnu Hajar (12/412) dan kitab Al Minhaj Syarah shahih Muslim (2/226).) Sudah besar sampai-sampai ditakuti oleh orang-orang Bani Ashfar (Yaitu orang-orang Romawi, maksudnya agama atau ajaran yang dibawa Rasulullah semakin kuat, menyebar dan besar sampai diatkuti oleh orang Romawi yang waktu itu merupakan salah satu imperium terbesar. Lihat: Fath Al Bari, karya Ibnu Hajar (9/452) dan Al Minhaj Syarah Shahih Muslim (2/226).) Maka masih saja aku yakin dengan perkara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau akan menang sampai akhirnya Allah memasukkanku ke dalam agama Islam”, Az Zuhri berkata: “Kemudian Heraklius memanggil para petinggi kerajaan Romawi dan mengumpulkan mereka di dalam rumahnya, kemudian berkata: “Wahai orang-orang Romawi, apakah kalian menginginkan keberuntungan dan petunjuk sampai akhir zaman, dan tetap kekuasaan kalian?” Maka merekapun melarikan diri sebagaimana keledai-keledai liar berlarian mencari jalan keluar ke pintu-pintu, dan ternyata mereka mendapatkan pintu-pintu tersebut tertutup, kemudian Heraklius berkata: “Datangkanlah mereka kepadaku”, kemudian di datangkanlah mereka, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku menguji kekuatan kalian atas agama kalian, dan aku telah melihat dari kalian yang aku senangi”, maka akhirnya mereka sujud kepadanya dan merekapun meridhainya”. Hadits riwayat Al Bukhari (no. 7) dan Muslim (no. 4707).

Dari riwayat yang panjang di atas, dapat diambil pelajaran bagaimana kekuasaan dan tahta adalah salah satu faktor yang menyebabkan manusia menolak kebenaran, lihatlah Heraklius yang telah benar-benar mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang rasul Allah yang diutus ke muka bumi ini akan tetapi ketika melihat rakyatnya meninggalkannya akibat pernyataannya maka iapun enggan masuk ke dalam agama Islam ini, enggan menerima kebenaran. Wallahu a’lam.

Kesepuluh, Pernyataan-pernyataan yang jauh dari kebenaran, misalnya:
– Kebenaran itu bersama golongan mayoritas. Pernyataan ini dibantah oleh nash-nash dari ayat-ayat Al Quran ataupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena tidak semua yang mayoritas itu selalu benar:
{ وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (116) إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (117)} [الأنعام: 116، 117]
Artinya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”[116] “Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”[117]. QS. Al An’am: 116-117.
{وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ} [يوسف: 103]
Artinya: “Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. QS. Yusuf: 103.
{إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ} [ص: 24]
Artinya: “…Kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini…”. QS. Shaad: 24.
(عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن عَمْرٍو  رضي الله عنهما, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ”، قُلْنَا: وَمَا الْغُرَبَاءُ؟ قَالَ:”قَوْمٌ صَالِحُونَ قَلِيلٌ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ”)
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kebahagiaan bagi yang ghuraba-“, kami bertanya: “Lalu siapakah ghuraba-‘?” beliau menjawab: “Orang-orang shalih sedikit di tengah-tengah manusia buruk yang banyak, yang menentang mereka lebih banyak daripada yang mengikuti.” Hadits riwayat Ahmad (no. 6650) dan Ath Thabarani di dalam Al Mu’jamul  Kabir (no. 1457) serta dishahihkan oleh Imam Al Albani di dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 1619).

– Kelemahan dan minoritas pengikutnya adalah tanda bahwasanya sesuatu itu salah, penyataan ini bertentangan dengan beberapa dalil di bawah ini:
{ قَالُوا أَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الْأَرْذَلُونَ} [الشعراء: 111]
Artinya: “Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?” QS. Asy Syu’ara: 111.
(عن ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – :”عُرِضَتْ عَلَىَّ الأُمَمُ ، فَجَعَلَ النَّبِىُّ وَالنَّبِيَّانِ يَمُرُّونَ مَعَهُمُ الرَّهْطُ ، وَالنَّبِىُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ”)
Artinya: “Dari Abdullah bin Abbas, radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“Diperlihatkan kepadaku beberapa umat manusia, ada seorang nabi dan dua orang nabi berjalan sedang bersama mereka sekelompok orang, dan ada seorang nabi tidak ada seorangpun bersamanya.” Hadits riwayat Al Bukhari (no. 5705) dan Muslim (no. 549).

Kesebelas, Mengikuti hawa nafsu maka akhirnya kebenaran ditolak
Salah satu penyebab terbesar kenapa seorang masih saja mengerjakan perbuatan syirik padahal ia mengetahui bagaimana bahayanya akibat dari perbuatan tersebut atau kenapa seseorang masih melakukan perbuatan bid’ah padahal jelas-jelas hal tersebut tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mengikuti hawa nafsu.
Allah Ta’ala berfirman: 

{أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ} [الجاثية: 23]

Artinya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” QS. Al Jatsiyah: 23.
 
Sudah tahu yang benar, kenapa masih disembunyikan
Sebagian manusia mengetahui kebenaran akan tetapi ia menyembunyikannya, penyebabnya diantaranya:

1. Takut memberitahukan yang benar karena kecintaan kepada teman
Ini bertentangan dengan manhaj para shalaf Ash shalih. Mari kita perhatikan riwayat berikut ini:

(عن هُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلَ قَالَ سُئِلَ أَبُو مُوسَى عَنِ ابْنَةٍ وَابْنَةِ ابْنٍ وَأُخْتٍ فَقَالَ لِلاِبْنَةِ النِّصْفُ وَلِلأُخْتِ النِّصْفُ ، وَأْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ فَسَيُتَابِعُنِى . فَسُئِلَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأُخْبِرَ بِقَوْلِ أَبِى مُوسَى فَقَالَ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ ، أَقْضِى فِيهَا بِمَا قَضَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لِلاِبْنَةِ النِّصْفُ ، وَلاِبْنَةِ ابْنٍ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ ، وَمَا بَقِىَ فَلِلأُخْتِ » . فَأَتَيْنَا أَبَا مُوسَى فَأَخْبَرْنَاهُ بِقَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ ، فَقَالَ لاَ تَسْأَلُونِى مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ فِيكُمْ”)

Artinya: “Dari Hudzail bin Syurahbil, beliau berkata: “Abu Musa radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang (bagian yang didapat dari harta warisan) bagi seorang anak perempuan dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang saudara perempuan, Abu Musa menjawab: “Bagi anak perempuan mendapatkan bagian setengah dan suadara perempuan juga setengah. Datangilah Abdullah bin Mas’ud maka ia akan mengikutiku”, lalu Abdullah bin Mas’ud ditanya dan diberitahukan perihal pendapat Abu Musa Al Asy’ari, beliau berkata: “Sungguh aku telah sesat kalau begitu dan bukanlah aku termasuk dari orang-orang yang diberi petunjuk (jika aku mengambil pendapatnya Abu Musa), aku akan menghukumi permasalahan ini dengan apa yang telah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentukan; anak perempuan mendapat bagian setengah, cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam sebagai penyempurnaan dua pertiga dan sisanya bagi saudari wanita”. Kemudian kami mendatangi Abu Musa dan kami beritahukan pendapat Abdullah bin Mas’ud, maka beliau berkata: “Janganlah kalian tanya aku selama ada ulama ini diantara kalian”. Hadits riwayat Al Bukhari (no. 6736).

Dari riwayat di atas, kita perhatikan bagaimana seorang shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tidak segan-segan mengatakan yang benar meskipun menyelisihi teman beliau yaitu shahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu.
 
Begitulah para shalaf Ash shalih, salah satu manhaj dalam beragama yang mereka ajarkan adalah jauh dari sikap berlebih-lebihan, sebagaimana dalam perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

(مَنْ كان مُسْتنّا فَلْيَسْتن بمَنْ قَدْ مَاتَ أولئكَ أَصْحابُ مُحمد – صلى الله عليه وسلم – كانوا خَيرَ هذه الأمَّة ، وأَبَرها قُلوبا ، وأَعْمقَها عِلْما ، وأَقَلّها تَكلفا ، قَوم اخْتارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَة نَبيه – صلى الله عليه وسلم – ونَقلِ دينه فَتَشبَّهوا بأَخْلاقِهِم وطَرائِقِهم ؛ فَهُمْ كانوا عَلَى الهَدْي المُستقِيم)

Artinya: “Barangsiapa yang bersuri tauladan maka bersuri tauladanlah dengan orang yang sudah meninggal, yaitu para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mereka adalah orang-orang yang paling baik dari umat ini, paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling  jarang membebani diri dengan sesuatu yang tidak syar’i. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk bershahabat dengan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan dipilih untuk menyampaikan agama beliau, maka serupakanlah kalian dengan budi pekerti mereka dan jalan-jalan mereka, karena mereka berada diatas petunjuk yang lurus.”Diriwayatkan oleh Al Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah (1/214) dan Ibnu Abdil Barr di dalam Jami’ bayan Al ilm wa fadhlih (2/97).

2. Tekanan sosial
Seseorang menyembunyikan kebenaran akibat tekanan sosial yang ia dapatkan, mari kita baca riwayat di bawah ini:
(عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما: أَنَّ هِلاَلَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – بِشَرِيكِ بْنِ سَحْمَاءَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – «الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدٌّ فِى ظَهْرِكَ» . فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا رَأَى أَحَدُنَا عَلَى امْرَأَتِهِ رَجُلاً يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُ الْبَيِّنَةَ . فَجَعَلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ «الْبَيِّنَةَ وَإِلاَّ حَدٌّ فِى ظَهْرِكَ» فَقَالَ هِلاَلٌ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنِّى لَصَادِقٌ ، فَلَيُنْزِلَنَّ اللَّهُ مَا يُبَرِّئُ ظَهْرِى مِنَ الْحَدِّ ، فَنَزَلَ جِبْرِيلُ ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ (وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ) فَقَرَأَ حَتَّى بَلَغَ (إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ) فَانْصَرَفَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَجَاءَ هِلاَلٌ ، فَشَهِدَ ، وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ «إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ» . ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ فَلَمَّا كَانَتْ عِنْدَ الْخَامِسَةِ وَقَّفُوهَا ، وَقَالُوا إِنَّهَا مُوجِبَةٌ . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَتَلَكَّأَتْ وَنَكَصَتْ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهَا تَرْجِعُ ثُمَّ قَالَتْ لاَ أَفْضَحُ قَوْمِى سَائِرَ الْيَوْمِ ، فَمَضَتْ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ الْعَيْنَيْنِ سَابِغَ الأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ ، فَهْوَ لِشَرِيكِ بْنِ سَحْمَاءَ » . فَجَاءَتْ بِهِ كَذَلِكَ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لَوْلاَ مَا مَضَى مِنْ كِتَابِ اللَّهِ لَكَانَ لِى وَلَهَا شَأْنٌ »)
Artinya: “Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma-‘ di depan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Hilal: “Bukti atau cambuk di atas punggungmu”, dijawab oleh Hilal: “Wahai Rasulullah jika salah seorang diantara kita melihat seseorang di atas istri kita, apakah kita harus mencari bukti (lagi)”, dan masih saja Nabi mengucapkan: “Bukti atau cambuk di atas punggungmu”, kemudian Hilal berkata: “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran sungguh aku adalah seorang yang jujur, maka niscaya Allah akan benar-benar menurunkan sesuatu yang melepaskan punggungku dari cambukan, kemudian datanglah Jibril dan menurunkan kepada beliau, ayat:
{وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9)} [النور: 6 – 9]
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. [6] Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.[7] Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.[8] dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar[9]”. QS. An Nur: 6-9.

Kemudian Nabipun pulang dan meminta didatangkan istri (Hilal) dan datanglah Hilal bersaksi. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang dari kalian berdua telah berdusta, apakah ada diantara kalian yang bertaubat?” kemudian si istri berdiri dan bersaksi, lalu ketika sumpah yang kelima kali mereka menghentikannya dan mereka berkata:“Sesungguhnya sumpah yang kelima itu mewajibkan”, berkata Abdullah bin Abbasradhiyallahu ‘anhuma: “Lalu si istri inipun agak melambatkan dan mundur sehingga kami mengira bahwa ia akan mencabut kembali pernyataannya kemudian ia berkata:“Aku tidak akan menghinakan kaumku pada seluruh hari ini”, kemudian ia pergi. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah kalian perhatikan wanita tersebut, jika ia melahirkan bayi yang matanya sangat hitam, pantatnya gemuk, gempal betisnya, maka ia adalah milik Syarik bin Sahma-‘”,ternyata memang ia melahirkan yang demikian itu, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau bukan saja telah ada di dalam Al Quran maka niscaya akan ada sesuatu diantara aku dan ia”. Hadits riwayat Al Bukhari (no. 4747).

Begitulah bagaimana akhirnya seseorang menyembunyikan kebenaran karena tidak mau mendapatkan tekanan sosial dari negara, kabilah, masyarakat, guru, murid, para pengikut dan lain-lainnya. Maka wajar kalau sering terdengar perkataan: “Jangan melawan arus, ikuti orang banyak aja, selamat”. Hal ini jualah –setelah taqdir Allah Ta’ala- yang menjadikan paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Abu Thalib menolak untuk masuk ke dalam agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam, mari kita perhatikan riwayat di bawah ini:

(عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ: أَخْبَرَنِى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهِ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، فَقَالَ « أَىْ عَمِّ قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ: أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ,  فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ: عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ)

Artinya: “Dari Az Zuhri, berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Sa’id bin Al Musayyab, beliau mendapatkan riwayat dari bapaknya: “Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya. Ternyata Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin Al Mughirah telah berada disisinya, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai pamanku, katakanlah laa ilaaha illallahu, sebuah kalimat aku akan jadikan alasan untuk membelamu dengannya disisi Allah Ta’ala”, lalu Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin Al Mughirah berkata: “Apakah kamu benci kepada ajarannya Abdul Muthallib, maka masih saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajaknya dan keduanya juga selalu mengulang perkataan tersebut, sampai akhirnya perkataan terakhir Abu Thalib menunjukkan bahwa dia berada pada ajaran Abdul Muthallib, dan enggan untuk mengatakan kalimat laa ilaaha illallah.” Hadits riwayat Bukhari (no. 3884) dan Muslim (no. 141).
 
Begitulah akhir cerita dari Abu Thalib karena tekanan dan desakan sosial maka tetap tidak mau mengikuti kebenaran. Wallahul musta’an.   

Para pembaca yang dirahmati Allah…
Di penghujung tulisan ini mari kita selalu mengingat hadits Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam di bawah ini, ketika dalam situasi antara memegang kebenaran dan menghadapi tekanan sosial, kita selalu tegar dengan kebenaran yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
(كَتَبَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها إِلَى مُعَاوِيَةَ رضي الله عنه: سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ, فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ». وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَ)
Artinya: “‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu“Semoga keselamatan atasmu, Amma ba’du: Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mencari keridhaan Allah meskipun dibenci manusia maka Allah akan mencukupkan baginya kebutuhan kepada manusia dan barangsiapa yang mencari keridhaan manusia padahal itu dimurkai Allah maka Allah menggantungkannya kepada manusia.” Semoga keselamatan atasmu.” Hadits riwayat At Tirmidzi (no. 2414) dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, (no. 2311).
 
Maksud dari “Allah menggantungkannya kepada manusia” adalah Allah akan menjadikan manusia menguasainya dan menyakiti dan menzhaliminya”. Lihat Tuhfat Al Ahwadzi tentang syarah hadits ini.
 
Semoga bisa menjadi obat bagi yang suka ngeyel…
Semoga bisa menjadi obat bagi yang sudah tahu salah tapi masih suka ngeyel.
Semoga bisa menjadi obat bagi yang sudah tahu syirik tapi masih suka ngeyel.
Semoga bisa menjadi obat bagi yang sudah tahu bidah tapi masih suka ngeyel.
Semoga bisa menjadi obat bagi yang sudah tahu maksiat dan dosa tapi masih suka ngeyel.

و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين  و الحمد لله رب العالمين

*) Ditulis oleh Ahmad Zainuddin, Jumat 29 Dzulhijjah 1432H, Dammam KSA

Post Comment