بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:
Saudaraku seiman…
Pada pembahasan kali ini masih membicarakan tentang salah satu adab berhutang, yaitu menjamin hutang, cara yang kedua menjamin hutang hutang adalah dengan:
B. Menjamin dengan Penanggung Hutang
Salah satu cara agar uang atau harta anda yang jadikan piutang aman di tangan orang yang berhutang adalah dengan cara dijamin dengan penanggung hutang, maknanya jika hutang tersebut tidak terbayar maka si penanggung hutang yang akan menanggung hutang tersebut. Jadi hutang tersebut dapat di bayar oleh si penanggung hutang.
Coba perhatikan hadits-hadits berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً لَزِمَ غَرِيمًا لَهُ بِعَشْرَةِ دَنَانِيرَ فَقَالَ وَاللَّهِ لاَ أُفَارِقُكَ حَتَّى تَقْضِيَنِى أَوْ تَأْتِيَنِى بِحَمِيلٍ فَتَحَمَّلَ بِهَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَاهُ بِقَدْرِ مَا وَعَدَهُ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « مِنْ أَيْنَ أَصَبْتَ هَذَا الذَّهَبَ ». قَالَ مِنْ مَعْدِنٍ. قَالَ « لاَ حَاجَةَ لَنَا فِيهَا وَلَيْسَ فِيهَا خَيْرٌ ». فَقَضَاهَا عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa seorang lelaki selalu menguntit orang yang berhutang kepadanya sebanyak sepuluh dinar, ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan memisahkan diri darimu sampai kamu melunasi hutangmu kepadaku, atau kamu mendatangkan kepadaku seorang yang menjamin hutang(mu), akhirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menanggungnya, lalu lelaki tersebut datang membawa apa yang ia telah janjikan (untuk melunasi hutang), Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Dari mana kamu mendapatkan emas ini?”, lelaki tersebut menjawab: “Dari Ma’din”, Lalu Nabi bersabada: “Kami tidak ada keperluan padanya dan tidak ada kebaikan di dalamnya.” Maka akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melunasi hutang lelaki tersebut.” HR. Abu Daud.
Arti ”Ma’din”:
Ibnul Atsir rahimahullah berkata:
المعَادِنُ : المواضعُ التي تُستخَرْج منها جواهرُ الأرْض كالذَّهب والفِضَّة والنُّحاس وغير ذلك واحدُها مَعْدِن
Al Ma’adin adalah tempat-tempat yang dikeluarkan darinya batu-batu berharga dari bumi, seperti emas, perak, tembaga dan lainnya, bentuk tunggalnya adalah ma’din.” Lihat kitab An Nihayah Fi gharib Al Atsar, 3/420.
عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ وَلاَ تُنْفِقُ الْمَرْأَةُ شَيْئًا مِنْ بَيْتِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا ». فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الطَّعَامَ قَالَ « ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا ». ثُمَّ قَالَ « الْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ وَالْمِنْحَةُ مَرْدُودَةٌ وَالدَّيْنُ مَقْضِىٌّ وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ ».
Artinya: “Syurahbil bin Muslim berkata: “Aku telah mendengar Abu Umamah Al Bahili berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memberikan setiap yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat utuk ahli wais, dan janganlah seorang istri menafkahkan sesuatu dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya”, lalu Rasulullah ditanya: “Wahai Rasulullah,dan juga makanan (tidak diperbolehkan untuk dinafkahkan)?”, beliau bersabda: “Hal itu seutama-utama harta kami”, kemudian beliau bersabda: “Hadiah diberikan, hadiah dari sumbernya diberikan dan hutang dilunasi dan seorang yang menanggung hutang adalah yang bertanggungjawab.” HR. Abu Daud.
Ibnul Atsir rahimahullah berkata:
الزَّعيم : الكَفِيلُ والغاَرِم : الضَّامِنُ
“Az Za’im artinya adalah yang menanggung hutang, al gharim artinya adalah bertanggung jawab.” Lihat kitab An Nihayah Fi Gharib Al Atsar, 2/744.
Beliau juga berkata:
: الذي يَلْتَزِم ما ضَمِنَه وتكَفَّل به ويُؤدِّيه
Ia adalah yang selalu menanggung apa yang dijaminnya dan diurusnya dan ditunaikannya.” Lihat kitab An Nihayah Fi Gharib Al Atsar, 3/669.
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa penjaminan hutang dengan cara “Kafalah” (penganggungan hutang) disyariatkan di dalam Islam, bahkan para ulama bersepakat secara umum tentang kebolehan kafalah.
Ibnu Rusyd berkata:
أما الحمالة بالمال فثابتة بالسنة ومجمع عليها من الصدر الأول ومن فقهاء الأمصار.
“Adapun al hamalah dengan harta, maka ia tetap berdasarkan sunnah dan disepakati atasnya dari generasi pertama dan dari para ahli fikih dunia.” Lihat kitab Bidayat Al Mujtahid, 2/295.
Disebutkan di dalam kitab Al Maussu’ah Al Fiqhiyyah:
وَقَدْ نَقَل كَثِيرٌ مِنَ الْفُقَهَاءِ الإِْجْمَاعَ عَلَى جَوَازِ الْكَفَالَةِ – وَإِنِ اخْتَلَفُوا فِي بَعْضِ الْفُرُوعِ – لِحَاجَةِ النَّاسِ إِلَيْهَا وَدَفْعِ الضَّرَرِ عَنِ الْمَدِينِ
“Dan telah dinukilkan kebanaykan dari para ahli fikih, ijma’ (kesepakatan) atas bolehnya kafalah -meskipun mereka berbeda di dalam sebagian permasalahan cabang- disebabkan kebutuhan manusia kepadanya dan menahan keburukan terhadap orang yang berhutang.” Lihat kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 34/389. Dan lihat juga (sebagaimana yang disebutkan pada catatan kaki kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah) kitab Al Mabsuth, 19/161 dan kitab Tadzkirat Al Fuqaha, 2/85.
SISI PENDALILAN DARI DUA HADITS DI ATAS:
Di dalam hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan secara jelas bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menanggung hutang seseorang, ketika ia tidak sanggup untuk melunasi hutang setelah beberapa waktu kecuali dari ma’din yang ia dapatkan, maka akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melunaskan hutangnya. Di dalam hadits ini terdapat dalail tentang kebolehan kafalah dlam hutang yaitu maksudnya ad yang menjadi kafil (bertanggungjawab) atas hutang.
Sedangkan di dalam hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitahukan bahwa seorang yang za’im yaitu yang bertanggung jawab atas hutang seperti berhutang atas hutang yang ia jamin. Dan ia akan melunasi kepada pihak yang memberikan piutang jika diminta, karena ia yang menjamin hutang tersebut.
BEBERAPA HUKUM TENTANG KAFALAH:
- Kafalah atas hutang orang yang masih hidup disepakati ulama kebolehannya
- Kafalah atas hutang orang yang sudah meninggal dan meninggalkan harta untuk pelunasan hutangnya, maka ini juga disepakati ulama kebolehannya
- Sedangkan Kafalah atas hutang orang yang sudah meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta untuk melunasi hutangnya, maka hal ini menurut kebanyakan ulama diperbolehkan. Sebagaimana dalam hadits salamah bin Al Akwa’ yang menceritakan di dalamnya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada para shahabatnya untuk mensalati jenazah yang mempunyai tanggungan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasinya, lalu Abu Qatadah yang menjamin hutangnya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akhirnya menshalatinya. (cerita ini diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab Shahihnya).
- Para Imam yang empat rahimahumullah bersepakat bahwa yang berhutang jika ada yang menangung hutangnya, tidak terlepas kewajiban bayar hutangnya, tetapi ketika sudah ada yang menanggung hutang maka, yang bertanggung jawab atas hutangnya dua orang; yang berhutang dan yang menanggung hutang.
- Para imam juga bersepakat bahwa jika yang berhutang sudah melunasi hutangnya maka yang menanggung hutangnya juga terlepas dari tanggungan hutang, karena ia hanya sebagai pengikuit terhadap orang yang berhutang.
- Adapaun jika penanggung hutang berlepas diri maka belum berarti hutangnya orang yang berhutang juga terlepas karena yang berhutang adalah asal permasalahan. Kecuali jika yang berhutang melunasi hutangnya. Lihat kitab Ahkam Ad Dain Dirasah Haditsiyyah Fiqhiyyah, hal: 368-381.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Ahad, 26 Jumadal Ula 1434H, Dammam KSA.