بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله وسلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لُعِنَتِ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَتَفْسِيرُ الْوَاصِلَةِ الَّتِى تَصِلُ الشَّعْرَ بِشَعْرِ النِّسَاءِ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا وَالنَّامِصَةُ الَّتِى تَنْقُشُ الْحَاجِبَ حَتَّى تَرِقَّهُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا وَالْوَاشِمَةُ الَّتِى تَجْعَلُ الْخِيلاَنَ فِى وَجْهِهَا بِكُحْلٍ أَوْ مِدَادٍ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا. رواه أبو داود و صححه الألباني.
Artinya: “Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Dilaknat al-washilah (wanita yang menyambung rambutnya), al-mustawshilah (wanita yang meminta disambungkan rambutnya),an-namishah (wanita yang mencukur alisnya), al-mutanammishah (wanita yang minta dicukur alisnya) dan al- wasyimah (wanita yang bertato) serta al-mustawsyimah (wanita yang minta ditato) tanpa ada penyakit.” Abu Daud rahimahullah berkata: “Dan tafsir dari al-washialah adalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut wanita, dan al-mustawshilahadalah yang meminta untuk diperbuat demikian dan an-namishah adalah wanita yang mencukur alis mata sehingga menjadi tipis dan al-mutanammishah adalah wanita meminta untuk diperbuat demikian dan al-wasyimahadalah wanita yang menjadikan gambar di wajahnya dengan pacar atau dengan tinta dan al-mustawsyimah adalah waita yang meminta untuk diperbuat demikian. Hadits riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani.
عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَوَشِّمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ. قَالَ: فَبَلَغَ امْرَأَةً فِى الْبَيْتِ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ فَجَاءَتْ إِلَيْهِ فَقَالَتْ: بَلَغَنِى أَنَّكَ قُلْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ. فَقَالَ: مَا لِى لاَ أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَقَالَتْ: إِنِّى لأَقْرَأُ مَا بَيْنَ لَوْحَيْهِ فَمَا وَجَدْتُهُ. فَقَالَ إِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ فَقَدْ وَجَدْتِيهِ أَمَا قَرَأْتِ ( مَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا) قَالَتْ بَلَى. قَالَ: فَإِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْهُ. قَالَتْ: إِنِّى لأَظُنُّ أَهْلَكَ يَفْعَلُونَ. قَالَ اذْهَبِى فَانْظُرِى. فَنَظَرَتْ فَلَمْ تَرَ مِنْ حَاجَتِهَا شَيْئاً فَجَاءَتْ فَقَالَتْ: مَا رَأَيْتُ شَيْئاً. قَالَ: لَوْ كَانَتْ كَذَلِكَ لَمْ تُجَامِعْنَا. مسند أحمد
Artinya: “Dari ‘Alqamah rahimahullah: “Dari Abdullah (bin Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:“Allah Ta’ala melaknat al-wasyimat, al-mustawsyimat, al-mutanammishat dan al-mutalafijat (wanita-wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan) orang-orang yang mengganti ciptaan Allah.”
Perawi berkata: “Lalu hal tersebut didengar oleh seorang wanita yang biasa dipanggil dengan Ummu Ya’qub, ia mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata: “Saya diberitahukan bahwa engkau telah berkata begini-begini”.
Beliau (Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) menjawab: “Kenapa aku tidak melaknat orang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam kitab Allah Ta’ala (al-Quran)”.
“Si wanita berkata: “Sungguh saya telah periksa di dalam Mushhaf akan tetapi saya tidak dapatkan.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jika anda membacanya maka anda akan dapatkan, bukankah anda membaca:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [الحشر : 7]
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. 59:7)
Wanita menjawab: “Iya”,
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kalau begitu, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang tentang hal demikian itu.
Si wanita berkata: “Sungguh aku mengira istri anda telah melakukannya.”
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Masuklah dan silahkan lihat”,
lalu wanita tadipun memeriksa dan tidak mendapatkan apa-apa, lalu ia kembali (Ibnu Mas’ud) dan berkata: “Saya tidak mendapatkan apa-apa”.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kalau seandainya istri saya mengerjakan demikian maka dia tidak akan bersama kita”. Hadits riwayat Ahmad.
Fatwa tentang seorang wanita menghilangkan bulu kumis, kedua betis dan lengan dan yang semisalnya
Fatwa no.10896.
Pertanyaan:
“Apakah arti an namsh? Bolehkah seorang wanita untuk menghilangkan bulu janggut, bulu kumis, bulu kedua betis dan bulu kedua tangan jika bulu-bulu tersebut terlalu kelihatan pada diri wanita tersebut dan menyebabkan kebencian suami, apakah hukumnya?”
Jawaban:
“Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan untuk Rasul-Nya dan para kerabat beliau serta para shahabat beliau, amma ba’du: “An namsh adalah: “Mengambil bulu alis, dan ia tidak diperbolehkan, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melaknat an-namishah dan al-mutanammishah, dan diperbolehkan bagi wanita untuk menghilangkan bulu yang terkadang tumbuh di dalam dirinya seperti bulu janggut dan kumis dan bulu di kedua betisnya dan tangannya”.
Wa billahit taufiq, dan semoga Allah melimpah shalawat dan salamnya kepada Nabi kita Muhammad dan kepada para keliarga beliau serta para shahabat.
Komite Tetap Untuk Pembahasan Ilmiyyah Dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Ketua : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Abdurrazaq Afifi
Anggota : Abdullah bin Ghudayyan
Fatwa tentang menyamakan alis mata untuk berhias di hadapan suami.
Fatwa no. 16406.
Pertanyaan:
“Apa hukumnya menyamakan bulu alis, dan lebih lagi bagi wanita yang ingin berhias bagi suaminya atau bagi tunangannya, baik ada yang memintanya berbuat demikian atau tidak, cuma dia hanya ingin berhias dan lebih lagi jika alis tersebut sangat lebar dan warnanya hitam pekat dan bulu alisnya panjang lebat hampir menyambungkan dua alis tersebut sehingga menjadi rata?”
Jawaban:
“Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk mengambil dari rambut alis, baik itu dengan mengguntinggnya, atau mencabutnya atau mencukurnya, karena sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَعَنَ اللَّهُ النامصات و الْمُتَنَمِّصَاتِ
“Allah melaknat an namishat dan al-mutanammishat.” Lihat sunan An-Nasa-‘I, juz 8/149, no: 5109. dan an-namishah adalah wanita yang mengambil bulu alisnya dan al-mutanammishah adalah wanita yang meminta kepada wanita lain untuk menghilangkan bulu alisnya dan an-namsh bukan termasuk berhias bahkan ia adalah pemburukan dan pengrobahan terhadap ciptaan Allah dan jika suaminya memerintahkan yang demikan, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menta’atinya, karena hal tersebut adalah maksiat dan tidak boleh menta’ati seorang makhluq di dalam maksiat (kepada Allah Ta’ala).”
Komite tetap untuk pembahasan ilmiyyah dan fatwa Kerajaan Arab Saudi
Ketua : Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil : Syeikh Abdurrazaq Afifi
Anggota : Syeikh Abdullah bin Ghudayyan
: Syeikh Abdul Aziz Al Syeikh, Syeikh Shalih Al Fauzan, Syeikh Bakr Abu Zaid
Fatwa tentang bulu alis yang tersambung bagi wanita
Pertanyaan:
“Apakah boleh mengambil bulu alis jika bulu tersebut bersambung (dengan sebelahnya) diatas hidung dan memburukkan wajah apalagi jika panjang dan membahayakan, dan saya, demi Allah, tidak mengikuti orang-orang kafir dan orang-orang Yahudi dan model akan tetapi hal tersebut telah memprburuk wajah saya dan bukan seluruh bulu alis akan tetapi yang tersambung diatas hidung, ia mempuburk dan membahayakan saya, wassalam?”
Jawaban:
“Syeikh menjawab: “Sedangkan menghilangkan bulu seperti ini dengan mencabutnya maka ini adalah haram, tidak diperbolehkan karena hal itu adalah an-namsh dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat an-namishah dan al-mutanammishah, dan sedangkan menghilangkannya (bulu alis yang tersambung tadi) tanpa mencabutnya seperti mengguntingnya dan mencukurnya maka hal ini tidak mengapa, meskipun sebagian ulama berpendapat: bahwasanya yang demikian itu (menghilangkannya dengan menggunting/mencukurnya/mencabutnya) haram dan termasuk an-namsh dan semestinya bagi wanita ini membiarkannya, maksudnya tidak merubahnya dengan sesuatu kecuali jika membahayakannya, yang mana sebagian bulu ini turun diatas kedua matanya sehingga menyakiti keduanya atau menghalangi antara dia dan penglihatannnya, maka tidak mengapa baginya untuk menggunting bulu yang menyakiti matanya.” Fatwa dari syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dari acaraNurun ‘Ala Ad Darb.
Fatwa tentang Operasi Kecantikan
Pertanyaan:
“Seorang pendengar juga bertanya: “Apa hukum melakukan operasi kecantikan?”
Jawaban:
“Syeikh menjawab: “Operasi kecantikan terbagi menjadi dua macam:
1. Operasi kecantikan dengan menghilangkan ‘aib yang didapatkan oleh seorang manusia akibat kecelakaan atau yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa di dalamnya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan bagi seorang laki-laki yang terpotong hidungnya dalam perperangan untuk mengambil hidung dari emas agar menghilangkan keburuk rupaan yang disebabkan karena terpotong hidungnya dan karena laki-laki yang telah mengerjakan operasi kecantikan ini bukan maksudnya meningkatkan dirinya kepada kebaikan yang lebih sempurna dari apa yang telah diciptakan oleh Allah atasnya akan tetapi ia menginginkan untuk menghilangkan ‘aib yang telah ia dapatkan,
2. Sedangkan macam kedua adalah operasi kecantikan tambahan yang bukan untuk menghilangkan ‘aib maka hal ini adalah haram dan tidak diperbolehkan ole sebab itu Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wasallam melaknat an-namishah, al-mutanammishah, al-wasyirah, al-mustawsyirah dan al-wasyimah serta al-mustwasyimah karena di dalamnya terdapat perubahan kecantikan yang menyempurnakan yang bukan untuk menghilangkan ‘aib, sedangkan tentang seorang dokter yang ditetapkan termasuk dari pelajarannya adalah materi ini maka tidak mengapa baginya untuk mempelajarinya akan tetapi dia tidak melakukannya langsung akan sesuatu yang di dalamnya ada keharaman akan tetapi orang yang minta hal tersebut darinya diberi nasehat bahwasanya ini adalah haram dan tidak diperbolehkan maka di dalmnya ada faedah, karena nasehat jika dari dokter itu sendiri karena kebanyakan orang sakit atau yang meminta operasi kecantikan ini akan merasa puas lebih dari puas apabila orang lain yang menasehatinya. Fatwa dari Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dari acara Nurun ‘Ala Ad Darb.
Fatwa tentang Mencabut Uban
Pertanyaan:
“Seorang wanita bertanya: “Apakah hukum mencabut uban?”
Jawaban:
“Iya, mencabut uban jika ubannya di wajah maka hal tersebut termasuk dosa besar, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat an-namishah dan al-mutanammishah, para ulama berpendapat an-namsh adalah mencabut bulu wajah, sedangkan dari selainnya maksudnya dari selain bulu wajah, seperti uban kepala maka para ulama memamkruhkannya, mereka mengatakan: “Dimakruhkan mencabut uban ini”, dan saya tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh orang yang mempunyai uban ini jika setiap kali selembar dari rambutnya memutih lalu ia langsung mencabutya maka orang tersebut akan mencabuti seluruh rambut kepalanya karena uban itu seperti api menyala di atas kepala sebagaiman perkataan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam:
وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا [مريم : 4]
Artinya: “Kepalaku telah bernyala (ditumbuhi) uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Rabbku.“ (QS. 19:4). Fatwa dari Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dari acaraNurun ‘Ala Ad Darb.
Ditulis oleh Abu Abdillah Ahmad Zainuddin, ICC Dammam KSA