بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:
Saudaraku seiman…
Seorang yang beriman kepada takdir akan meyakini bahwa tidak akan ia tertimpa suatu musibah apapun kecuali sudah tertuliskan di dalam Al Lauh Al Mahfuzh, keyakinan ini mendorong ia untuk senantiasa bertawakkal hanya kepada Allah atas segala perkaranya, apakah itu urusan dunia atau akhirat, apakah perkara kecil atau besar. Sehingga ia selalu berharap dari Allah Ta’ala hal yang terbaik untuknya.
Ayat di bawah ini adalah dalil atas apa yang disebutkan di atas, Allah Ta’ala berfirman
{ قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ} [التوبة: 51]
Artinya: “Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” QS. At Taubah: 51.
Hadits di bawah ini merupakan bukti bahwa beriman kepada takdir sangat erat kaitannya dengan tawakkal.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ ».
Artinya: “Abu HUrairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari seorangmukimin yang lemah dan pada seluruhnya ada kebaikan, bersungguh-sungguhlah atas apa yang menimpamu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau lemah, jika kamu tertimpa sesuatu maka janganlah kamu katakan: “Jikalau aku mengerjakan ini niscaya akan seperti ini dan itu, akan tetapi katakanlah (ini adalah) takdir Allah dan Dia berbuat apa saja sesuai denga kehendak_nya, karena sesungguhnya ucapan “jikalau” akan membuka perbuatan syetan.” HR. Muslim.
Subhanallah…
Perhatikan perintah di dalam hadits di atas untuk minta tolong yang hal itu adalah salah satu bentuk bersandar diri dan tawakkal kepada Allah Ta’ala dikaitkan dengan bersandar kepada takdir jika terjadi sesuatu.
Begitu pula hadits:
عَنِ ابْنِ الدَّيْلَمِىِّ قَالَ وَقَعَ فِى نَفْسِى شَىْءٌ مِنَ الْقَدَرِ فَأَتَيْتُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «… وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ … »
Artinya: “Ibnu Ad Dailami berkata: “Terdapat di dalam diriku sesuatu yang berkaitan dengan takdir, lalu akupun mendatangi Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, maka akupun bertanya kepada-NYa, lalu beliau berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “…dan kamu mengetahui bahwa apa saja yang menimpamu (sebagaimana yang sudah ditakdirkan), maka tidak akan pernah meleset darimu dan apa saja yang tidak terkena padamu (karena belum ditakdirkan), maka tidak akan menimpamu.” HR. Abu Daud dan Ahmad.
Ali Al Qari dan Al Mubarakfuri rahimahumallah berkata:
وَهُوَ مَضْمُونُ قَوْلِهِ تَعَالَى: {قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا} [التوبة: 51] ، وَفِيهِ حَثٌّ عَلَى التَّوَكُّلِ وَالرِّضَا، وَنَفْيِ الْحَوْلِ وَالْقُوَّةِ، وَمُلَازَمَةِ الْقَنَاعَةِ، وَالصَّبْرِ عَلَى الْمَصَائِبِ
“Dan hadits di atas adalah konsekwensi dari Firman Allah Ta’ala: “Katakanlah, tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tuliskan untuk kami”QS. At Taubah: 51. Di dalamnya terdapat perintah untuk bertawakkal dan ridha serta peniadaan daya dan kekuatan serta selalu bersikap puas serta sabar atas musibah-musibah (yang didapatkannya).” Lihat kitab Mirqat Al Mafatih syarah Misykat Al Mashabih, 1/189 dan Tuhfat Al Ahwadzi, 6/297.
Syaikh Al Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
لا بد للإنسان من الإيمان بالقدر لأنه أحد أركان الإيمان الستة، ولأنه من تمام توحيد الربوبية، ولأن به تحقيق التوكل على الله تعالى وتفويض الأمر إليه مع القيام بالأسباب الصحيحة النافعة
“Harus bagi seorang manusia untuk beriman kepada takdir, karena ia adalah salah satu rukun iman yang enam, dan karena ia dari kesempurnaan tauhid rububiyyah, dan karena dengannya penerapan tawakkal dan penyerahan perkara kepada Allah yang disertai dengan mengerjakan sebab-sebab yang benar dan bermanfaat.” Lihat Kitab Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibnu Ustaimin, 4/213.
Berkata syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jarbu’:
فالإيمان بالقدر باعث على التوكل، وتعلق القلب بالله، والتوكل على الله، وكمال تعلق القلب به هو أساس التوحيد، والتوحيد بإخلاص العبادة لله، وصدق الالتجاء إليه هو أساس العبودية، والركن الأهم في طريق الولاية.
“Beriman kepada takdir adalah penumbuh sifat tawakkal, dan bergantungnya hati kepada Allah, dan tawakkal kepada Allah serta sempurnanya bergantung hati adalah merupakan pondasi dasar tauhid. Dan tauhid terjadi dengan cara mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah, benar-benar kembali kepada-Nya adalah pondasi dasar penghambaan diri, dan rukun yang paling penting di jalan menjadi wali.” Lihat kitab Atsar Al Iman fi Tahshin Al Ummah Al Islamiyyah Dhidd Al Afkar Al Haddamah, 1/244.
Saudaraku seiman…
Jika sudah dipahami di atas, maka ternyata di dalam sikap tawakkal terdapat keutamaan dan kebaikan yang sangat luar biasa.
Mari perhatikan perkataan indah dari Ibnu Rajab berikut:
ومن لطائف أسرارِ اقترانِ الفرج بالكربِ واليُسرِ بالعسرِ: أن الكربَ إذا اشتدَّ وعَظُمَ وتناهى، حصلَ للعبدِ الإياسُ من كَشْفِهِ من جهةِ المخلوقين. وتعلَّقَ قلبُه بالله وحدَهُ، وهذا هو حقيقةُ التوكُلِ على اللَّه، وهو من أعظم الأسبابِ التي تُطلَبُ بها الحوائجُ، فإنَّ اللَّهَ يكفي من توكَّل عليه”، كما قال: (وَمَن يَتَوَكلْ عَلَى اللهِ فَهوَ حَسْبُهُ) .
“Dan termasuk dari rahasia-rahasia menarik tentang tersandingnya jalan keluar dengan kesempitan dan kemudahan dengan kesulitan adalah bahwa kesempitan jika bertambah kuat, bertambah besar dan bertambah sulit, maka akan terjadi pada diri seorang hamba keputus asaan untuk menghilangkannya dari sisi para makhluk, dan (akhirnya) bergantunglah hatinya kepada Allah semata, inilah dia tawakkal kepada Allah yang hakiki, dan ia adalah termasuk dari sebab-sebab yang paling besar dituntut darinya hajat dan keperluan, karena sesungguhnya Allah akan mencukupkan siapa yang bertawakkal kepadanya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: “Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka Dialah pencukupnya”. Lihat kitab Tafsir Ibnu Rajab Al Hambali, 2/294.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Kamis, 29 Syawwal 1434H, Dammam Arab Saudi.