بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:
Saudaraku seiman…
Sering kita dapati sebuah tempat atau kain terkena najis tetapi karena satu dan lain hal, najis tersebut akhirnya belum disucikan ternyata sudah kering duluan, maka apakah hukum najis yang kering jika kita sentuh atau terkena pakaian kita?
Apakah najis yang kering tersebut memberikan bekas najis ke kulit kita atau pakaian kita?
Saudaraku seiman… di bawah ini saya bawakan beberapa fatwa ulama tentang permasalahan di atas, tetapi sebelum itu saya ingin mengingatkan bahwa semestinya jika ada najis jangan dibiarkan begitu saja dan segera disucikan. Sehingga najisnya tidak tersebar kesana kemari.
Mari perhatikan hadits-hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِصَبِىٍّ ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ إِيَّاهُ .
Artinya: “Aisyah Ummu Al Mu’minin radhiyallahu ‘anha meriwayatkan; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di datangkan kepada beliau seorang bayi, lalu bayi tersebut kencing di atas pakaian beliau, lalu beliau meminta diambilkan air dan disiramkan kepada beliau.” HR. Bukhari.
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ ، لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حِجْرِهِ ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ .
Artinya: “Ummu Qais bintu Mihshan meriwayatkan bahwa ia pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil membawa anak lelaki kecilnya yang belum makan makanan apapun (kecuali air susu ibunya), lalu Rasulullah shallallahu mendudukkannya di pangkuan beliau, ternyata bayi lelaki tersebut kencing di atas pakaian beliau, lalau beliau meminta diambilkan air kemudian beliau siramkan dan tidak membasuhnya.” HR. Bukhari.
dari dua riwayat diatas dan masih banyak riwayat yang lain menunjukkan bahwa jika ada najis, maka semestinya harus cepat dan segera disucikan dengan air.
Saudara seiman… sekarang mari perhatikan fatwa-fatwa ulam tentang permasalahan di atas:
Syeikh Shalih Al Fawzan hafizhahullah menjawab:
النجاسة لا تزول عن الملابس إلا بالغسل بالماء الطهور، ولا يكفي جفاف النجاسة عنها، قال صلى الله عليه وسلم في دم الحيض يصيب ثوب المرأة : ( تَحُتّه، ثم تقرصه بالماء، ثم تنضحه، ثم تصلي به ) متفق عليه . فيجب غسل النجاسة عن الثوب قبل الصلاة فيه .
وإذا لمس الإنسان نجاسة رطبة؛ فإنه يغسل ما لمسها به من جسمه؛ لانتقال النجاسة إليه، أما النجاسة اليابسة؛ فإنه لا يغسل ما لمسها به؛ لعدم انتقالها إليه . والله أعلم .
“Najis tidak hilang dari pakaian kecuali dengan membasuhnya dengan air yang suci, dan tidak cukup dengan keringnya najis itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang darah haid yang terkena pakaian wanita:
« تَحُتُّهُ ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّى فِيهِ »
“Mengeriknya (dengan kuku) kemudian menguceknya dengan air kemudian menyiramnya, lalu shalatlah dengan memakainya.” Muttafaqun ‘alaihi, jadi wajib membasuh najis dari najis sebelum shalat dengan memakainya. Muttafaqun ‘alaihi.
Dan jika seorang manusia menyentuh najis yang basah, maka ia dibasuh apa yang tersentuh oleh badannya, karena berpindahnya najis kepadanya, adapun najis yang kering, maka ia tidak di basuh apa yang tersentuh olehnya karena tidak berpindahnya najis kepadanya.” Lihat kitab Al Muntaqa min Fatawa Al Fawzan, 48/18.
Syeikh Jibrin rahimahullah menjawab:
“لا يضر لمس النجاسة اليابسة بالبدن والثوب اليابس ، وهكذا لا يضر دخول الحمام اليابس حافياً مع يبس القدمين لأن النجاسة إنما تتعدى مع رطوبتها” انتهى
“Tidak membahayakan menyentuh najis yang kering dengan badan dan pakaian yang kering, dan demikian pula tidak membahayakan masuk ke kamar mandi yang kering dengan tidak memakai alas kaki beserta kedua kaki yang kering, karena najis hanya berpindah dengan kelembabannya.” lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah, 1/194.
Sedangkan Komite tetap untuk Fatwa dan Pembahasan Ilmiyyah Kerajaan Arab Saudi menjawab:
النجاسة اليابسة كالرطبة يجب إزالة عينها وغسل آثارها بالماء ، ولا يعفى عن شيء منها .
“Najis yang kering seperti najis yang lembab, wajib dihilangkan zat najisnya dan membasuh bekasnya dengan air dan tidak dimaafkan sedikitpun darinya.” Lihat Fatwa Lajnah Daimah, no. 19898.
Dan Markaz Fatwa yang di bombing oleh DR. Abdullah Al Faqih di dalam islamweb.net menjawab:
فالطاهر الجاف إذا لاقى نجساً جافاً فإنه لا يتنجس، وقد اشتهر عند أهل العلم أن النجس إذا لاقى شيئاً طاهراً وهما جافان لا ينجسه، وراجع الفتوى رقم: 29899 .
والطاهر الرطب إذا لاقى متنجساً قد زالت عنه عين النجاسة فإنه لا يكون نجساً عند المالكية، كما في الفتوى رقم: 45775 .
وكذلك الحكم أيضاً عند الحنفية، ففي مجمع الأنهر على الفقه الحنفي: كما لو وضع الثوب حال كونه رطباً على مطين بطين نجس جاف بتشديد الفاء من جف لأن الجفاف يجذب رطوبة الثوب فلا يتنجس، و أما إذا كان رطباً فيتنجس. انتهى.
وعند الشافعية يتنجس الرطب الطاهر بملاقاته لمتنجس جاف ففي تحفة المحتاج لابن حجر الهيتمي أثناء كلامه على لبس الثوب المتنجس: ويستثنى من ذلك ما لو كان الوقت صائفا بحيث يعرق فيتنجس بدنه ويحتاج إلى غسله للصلاة مع تعذر الماء. انتهى.
وعند الحنابلة إذا كان الطاهر به بلل ينجس إذا لاقى متنجساً ولا ينجس إذا كانت به رطوبة بدون بلل، ففي كشاف القناع ممزوجاً بمتن الإقناع للبهوتي : فلو قطع به أي السيف المتنجس ونحوه بعد مسحه قبل غسله مما فيه بلل كبطيخ ونحوه نجسه لملاقاة البلل للنجاسة، فإن كان ما قطعه به رطباً لا بلل فيه كجبن ونحوه فلا بأس كما لو قطع به يابساً لعدم تعدي النجاسة إليه. انتهى.
والطاهر الرطب إذا لاقى عين نجاسة فإنه يصير متنجساً بمجرد ملاقاتها، ففي مغني المحتاج ممزوجاً بالمنهاج للشربيني الشافعي: وما نجس من جامد ولو بعضا من صيد أو غيره بملاقاة شيء من كلب سواء في ذلك لعابه وبوله وسائر رطوباته وأجزائه الجافة إذا لاقت رطباً غسل سبعاً. انتهى.
والخلاصة أن الطاهر الجاف إذا لاقى نجساً جافاً لا ينجسه، والطاهر الرطب إذا لاقى متنجساً فإنه لا يكون متنجساً عند المالكية والحنفية ويكون متنجساً عند الشافعية، وعند الحنابلة يكون متنجساً إذا كان به بلل لا إن كان رطباً فقط من غير بلل، أما إذا لاقى الرطب الطاهر عين نجاسة فإنه يكون متنجساً. والله أعلم.
“Suatu barang suci yang kering jika bersentuhan dengan najis yang yang kering, maka ia tidak berubah najis, dan telah masyhur di tengah para ulama bahwa suatu najis jika bersentuhan dengan sesuatu yang suci dan kedua-duanya kering maka ia tidak najis. Silahkan periksa fatwa, no. 29899.
Dan suatu benda suci yang lembab jika bersentuhan dengan barang yang najis yang telah hilang zat najisnya, maka ia tidak akan menjadi najis menurut madzhab Maliki, no. fatwa 45775.
Dan demikian pula hukumnya menurut madzhab Hanafi, disebutkan di dalam kitab Majma’ Al Anhar ‘Ala Al Fiqh Al Hanfy: sebagaimana jika pakaian dalam keadaan lembab di atas benda yang terlumuri dengan tanah najis yang kering karena kekeringan melunturkan kelembaban pakaian, maka ia tidak menjadi najis, adapun jika lembab maka ia menjadi najis.
Dan menurut madzhab Syafi’ie, barang lembab yang suci menjadi najis dengan tersentuhnya dengan sesuatu yang najis yang kering, disebutkan di dalam kitab Tuhfat Al Muhtaj, karya Ibnu Hajar Al Haitami ketika pembicaraannya tentang pemakaian pakaian yang terkena najis; “Dan dikecualikan dari hal itu adalah apabila waktu pada saat itu musim panas, yang mana berkeringat, maka menjadi najis badannya dan membutuhkan untuk dibasuh untuk (dipakai) shalat walau dengan sulitnya air.
Menurut madzhab Hambali, jika barang suci dalam keadaan basah, maka akan menjadi najis jika bersentuhan dengan sesuatu yang najis, dan tidak menjadi najis jika ia lembab dan tidak basah, disebutkan di dalam Kasyf Al Qina’ yang digabung dengan matan Al Iqna’, karya Al Bahuti; jikalau memotong menggunakan pisau yang terkena najis atau semisalnya setelah diusap sebelum membasuhnya yang terdapat basah padanya seperti semangka, maka ia akan memberikan bekas najis padanya karena najis terkena benda yang basah, jika yang dipotong itu lembab, tidak ada basahnya, seperti keju dan semisalnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana jika memotong sesuatu yang kering dengan pisau tersebut, karena tidak berpindah najis kepadanya.”
Dan sesuatu lembab yang suci jika bersentuhan dengan zat najis maka ia akan menjadi najis hanya dengan tersentuhnya dengannya. Di dalam kitab Al Mughni AL Muhtaj yang digabungkan dengan Al Minhaj karya disebutkan karya Asy Syirbini Asy Syafi’I disebutkan: apa saja yang menjadi najis dari benda mati walaupun hanya sebagiannya, yaitu berupa hewan buruan atau selainnya dengan tersentuh suatu bagian dari anjing baik itu air liurnya, kencingnya atau seluruh kelembaban tubuhnya dan bagian-bagian tubuhnya yang kering jika tersentuh bagian yang lembab maka dibasuh sebanyak tujuh kali basuhan.
Jadi, ringkasannya adalah bahwa sesuatu yang suci yang kering jika bersentuhan dengan najjis yang kering, maka ia tidak akan menajiskannya, dan sesuatu yang lembab yang suci jika bersentuhan dengan sesuatu yang najjis maka hal itu tidak menajiskannya menurut madzhab Maliki dan Hanafi, dan menajiskannya menurut madzhab Syafi’i, dan menurut madzhab hambali menjadi najis jika pada terdapat basah dan bukan hanya sekedar lembab saja tanpa basah, adapun jika bersentuhan dengan sesuatu yang lembab yang suci suatu najis , maka ia menjadi najis. Wallahu a’lam. Silahkna lihat di: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=62420
Demikian fatwa-fatwa ulam tentang hal ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Kamis, 4/4/1434H, Dammam KSA.