Fiqh

Sebelum Anda Menghajikan atau Mengumrahkan Orang Lain | Untaian Artikel Menggapai Haji Mabrur (Bag 07)

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Syarat Menghajikan orang lain:
Sudah pernah melakukan haji atau umrah untuk dirinya.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ « مَنْ شُبْرُمَةَ ». قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».

Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki berkata: “Labbaika ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilan-Mu atas nama Syubrumah”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Siapa Syubrumah?”, laki-laki itu menjawab: “Saudaraku atau kerabatku”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sudah berhajikah kamu?“, laki-laki menjawab: “Belum”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berhajilah atas dirimu kemudian hajikan atas Syubrumah“. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani kitab Irwa Al Ghalil, 4/171)
Syarat orang yang dihajikan atau diumrahkan atasnya:
1) Orang yang sudah meninggal dunia.
Hal ini berdasarkan hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّى نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا ، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ » . قَالَتْ نَعَمْ . فَقَالَ « فَاقْضُوا الَّذِى لَهُ ، فَإِنَّ اللَّهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ » .

Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa: “Seorang wanita mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu beliau meninggal sebelum menunaikan haji, bisakah aku menunaikan atasnya haji?”, beliaumenjawab: “Iya, hajikanlah atasnya, bukankah jika ibumu mempunyai hutang, kamu akan membayarnya?”, wanita ini menjawab: “Iya”, Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:”Maka bayarlah, karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk dibayar”. (HR. Bukhari)
2) Orang yang sudah tidak mampu untuk menunaikan haji karena sangat tua dan sakit yang terus menerus dan tidak memungkinkan baginya untuk menunaikan haji.

عنِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – قَالَ أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ يَوْمَ النَّحْرِ خَلْفَهُ عَلَى عَجُزِ رَاحِلَتِهِ ، وَكَانَ الْفَضْلُ رَجُلاً وَضِيئًا ، فَوَقَفَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ ، وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِى رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا ، وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا ، فَالْتَفَتَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَنْظُرُ إِلَيْهَا ، فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ ، فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا ، فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِى الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا كَبِيرًا ، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى الرَّاحِلَةِ ، فَهَلْ يَقْضِى عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ « نَعَمْ » .

Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Al Fadhl bin Abbas pernah dibonceng oleh Rasululah shallallahu ’alaihi wasallam pada hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) di atas hewan tunggangan beliau yang tua, Al Fadhl adalah seorang pemuda yang tampan, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berhenti untuk memberi fatwa kepada mereka (yang bertanya), lalu datanglah seorang wanita cantik dari daerah Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hamba-Nya di dalam perkara haji telah didapati oleh bapakku dalam keadaan sangat tua, beliau tidak sanggup untuk duduk di atas kendaraan, bolehkah aku menghajikan atas namanya?”, beliau menjawab: Artinya: “(iya) hajikanlah atasnya”. (HR. Bukhari)

عَنْ أَبِى رَزِينٍ – قَالَ حَفْصٌ فِى حَدِيثِهِ رَجُلٌ مِنْ بَنِى عَامِرٍ – أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ لاَ يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلاَ الْعُمْرَةَ وَلاَ الظَّعْنَ. قَالَ « احْجُجْ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ ».

Artinya: “Abu Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya bapakku adalah seorang yang tua renta, tidak mampu haji dan umrah serta tidak bias menunggai kendaraan, Nabi bersabda: “Haji dan umrahkanlah atas bapakmu”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Abu Daud, no. 1588)
Perkara-perkara Penting Tentang Menghajikan dan Mengumrahkan Orang Lain:
1) Tunaikanlah amanat orang lain.
– Karena itu adalah perintah syari’at Islam.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- « أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ ».

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tunaikan amanah kepada siapa yang berhak mendapatkannya dan janganlah kamu khianati orang yang mengkhianatimu”. (HR. Abu Daud dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 423)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhotbah pada haji Wada’:

وَمَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ أَمَانَةٌ فَلْيُؤَدِّهَا إِلَى مَنِ ائْتَمَنَهُ عَلَيْهَا

Artinya: “Dan Barangsiapa yang memiliki amanah maka hendaklah ia menunaikan kepada yang berhak mendapatnya”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Fikh As Sirah, 1/456)
– Karena Ancaman akan menunggu bagi siapa yang tidak amanah

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : الْقَتْلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ يُكَفِّرُ كُلَّ ذَنْبٍ إِلاَّ الأَمَانَةَ يُؤْتَى بِصَاحِبِهَا وَإِنْ كَانَ قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقَالَ لَهُ : أَدِّ أَمَانَتَكَ فَيَقُولُ : رَبِّ ذَهَبَتِ الدُّنْيَا فَمِنْ أَيْنَ أُؤَدِّيهَا فَيَقُولُ : اذْهَبُوا بِهِ إِلَى الْهَاوِيَةِ حَتَّى إِذَا أُتِىَ بِهِ إِلَى قَرَارِ الْهَاوِيَةِ مَثُلَتْ لَهُ أَمَانَتُهُ كَيَوْمِ دُفِعَتْ إِلَيْهِ فَيَحْمِلُهَا عَلَى رَقَبَتِهِ يَصْعَدُ بِهَا فِى النَّارِ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنَّهُ خَرَج مِنْهَا هَوَتْ وَهَوَى فِى أَثَرِهَا أَبَدَ الآبِدِينَ وَقَرَأَ عَبْدُ اللَّهِ (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنَّ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا)

Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Mati di jalan Allah (di dalam medan pertempuran) menghapuskan seluruh dosa kecuali amanah (yang belum ditunaikan) akan didatangkan orang yang diberi amanah, jika dia meninggal di jalan Allah, maka akan dikatakan kepadanya: “Tunaikan amanatmu”, dia menjawab: “Wahai Rabbku, telah sirna dunia, maka bagaimana aku akan menunaikannya”, (Allah) berfirman: “Pergilah (masuk) ke neraka Hawiyah, sampai jika dia sudah dibawa ke dasar neraka Hawiyah, diumpamakan baginya amanahnya sebagaimana hari dia diberikan amanah itu, lalu diletakkan di atas pundaknya, kemudian dia menaiki dengan membawa (amanah tadi) di dalam neraka sampai jika ia merasa dirinya telah keluar darinya, (ketika itu) jatuh amanah dan setelahnya jatuh juga dia ke dalamnya untuk selama-lamanya, kemudian Abdullah membaca ayat:

{ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا }

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”. QS. An Nisa: 58. (Atsar riwayat Al Baihaqi dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih At Targhib Wa AtTarhib, no. 2995)
– Indahnya seorang yang terpercaya dalam menjaga amanah.

عَنْ أَبِيهِ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – « الْخَازِنُ الأَمِينُ الَّذِى يُؤَدِّى مَا أُمِرَ بِهِ طَيِّبَةً نَفْسُهُ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ » .

Artinya: “Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang Penjaga amanah yang menunaikan apa yang diperintahkan atasnya dengan jiwa baik, maka dia termasuk seorang yang bersedekah”. (HR. Bukhari)
2) Kerjakan dengan maksimal. Jika seseorang diberi amanah untuk menghajikan orang lain, maka hendaklah dia menghajikan orang lain tersebut dengan maksimal, melengkapi seluruh hal yang merupakan kewajiban dan rukun serta memilih manasik haji yang paling utama seperti; haji tamattu’ kecuali orang yang mewakilkan memilih manasik haji yang lain. (Lihat Fatwa Ibnu Utsaimin, 21/149)
3) Sakit yang masih bisa sembuh dan masih memungkinkan dia menunaikan haji, tidak boleh dihajikan atasnya. (Lihat Fatawa Ibnu Baz, 16/413 dan fatwa Komite Tetap untuk riset ilmiyyah dan fatwa kerajaan Arab Saudi, 11/77, 80 dan 81)
4) Boleh menunaikan haji atas orang lain tanpa meminta musyawarah dan izin dari pihak keluarga yang dihajikan atasnya. (Lihat Fatwa Ibnu Utsaimin, 21/149)
5) Buta bukan sebagai alasan yang dibenarkan syari’at untuk diperbolehkan dihajikan atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 16/123)
6) Seorang yang meninggalkan shalat tidak diboleh dihajikan dan disedekahkan atasnya. (Lihat Fatwa Ibnu Baz, 16/424-427 dan Ibnu Utsaimin, 21/45)
7) Tidak harus menyebutkan nama orang yang dihajikan atasnya tetapi cukup dengan meniatkan di dalam hati, namun jika ingin mengucapkan maka juga baik. (Lihat Fatwa Komite Tetap untuk Riset Imiyyah dan fatwa Kerajaan Arab Saudi, 11/82 dan kitab Mufid Al Anam, hal.29)
8) Mengambil harta untuk menunaikan haji dan bukan haji untuk mengambil harta dan keuntungan. Maksudnya adalah jika dikatakan kepada orang yang menghajikan orang lain: “Ambillah uang ini dan hajikan atas si fulan”, maka jika masih tersisa dari biaya yang diberikan harus dikembalikan, kecuali jika dikatakan: “Ambillah uang ini dan hajikan atas si fulan, jika sisa itu milikmu”. (Lihat fatwa Ibnu Utsaimin, 21/172-173)
Ahmad Zainuddin
Kamis 8 Dzulqa’dah 1432H
Dammam, KSA.

Post Comment