Terhina Karena Hutang (bag. 01)
Artikel Fiqh

Terhina Karena Hutang (bag. 01)

 بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:

Saudaraku seiman…Pernah berhutang? Semoga dimudahkan Allah Ta’ala untuk melunasinya

Jangan ditunda-tunda untuk melunasinya, karena sangat berbahaya dan beresiko dunia sebelum akhirat.

Saudaraku seiman…

Dibawah ini disebutkan beberapa hal yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menganggap remeh dan mudah perkara hutang:

1. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam awalnya tidak menyolati jenazah yang mempunyai hutang ketika ia meninggal

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ – رضى الله عنه – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أُتِىَ بِجَنَازَةٍ ، لِيُصَلِّىَ عَلَيْهَا ، فَقَالَ « هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ » . قَالُوا لاَ . فَصَلَّى عَلَيْهِ ، ثُمَّ أُتِىَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى ، فَقَالَ « هَلْ عَلَيْهِ مَنْ دَيْنٍ » . قَالُوا نَعَمْ . قَالَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ » . قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَىَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . فَصَلَّى عَلَيْهِ .

Artinya: “Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di datangkan seorang jenazah, agar beliau menyalatinya, maka beliau bertanya: “Apakah ia memiliki tanggungan hutang?”, mereka menjawab: “Tidak”, maka beliau menyalati atas jenazah itu, kemudian didatangkan seorang jenazah lain, maka beliau bertanya: “Apakah ia mempunyai tanggungan hutang”, mereka menjawab: “Iya”, beliau bersabda: “Salatkanlah jenazah kalian”, Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Hutangnya saya yang menanggungnya, wahai Rasulullah”, maka akhirnya beliau menyalati jenazah.” HR. Bukhari

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ « هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلاً » . فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى ، وَإِلاَّ قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ » . فَلَمَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْفُتُوحَ قَالَ « أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ، فَمَنْ تُوُفِّىَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ ، وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ » .

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering didatangkan seorang yang sudah meninggal dan mempunyai tanggungan hutang, maka beliau bertanya: “Aoakah ia meninggalkan pelunasan untuk hutang?”, maka jika diberitahukan bahwa ia meninggalkan pelunasan, beliau akan menyalatinya, dan kalau tidak (meninggalkan pelunasan-pen), beliau bersabda untuk kaum muslim: “Salatilah jenazah kalian”, ketika Allah memberikan kemenangan dengan penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda: “Aku adalah yang palng berhak atas dari diri mereka sendiri, maka barangsiapa yang meninggal dari kaum beriman, dan ia meninggalkan hutang, maka akulah yang melunasinya, dan barangsiapa yang meninggalkan harta maka ia tinggalkan untuk ahli warisnya.” HR. Bukhari.

Saudaraku seiman…

Sesuai dengan penjelasan para ulama rahimahumullah, bahwa hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menghapuskan hukum hadits Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, yang artinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyalati jenazah muslim, baik yang mempunyai hutang atau tidak ketika meninggalnya.

Ibnu Baththal rahimahullah berkata:

قال ابن بطال : هذا ناسخ لترك الصلاة على من مات وعليه دين (قضاؤه)

“Hadits ini (Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) adalah Nasikh (penghapus) untuk peninggalan salat atas seorang yang meninggal dan mempunyai tanggungan hutang” lihat kitab Faidh Al Qadir,3/63 (Asy Syamela).

Lalu apakah sebabnya di awal-awal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyalati jenazah yang mempunyai tanggungan hutang?

Mari perhatikan beberapa uraian dari para ulama:

Al Qadhi ‘Iyadh dan lainnya berkata:

قَالَ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ امْتِنَاعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَدْيُونِ إِمَّا لِلتَّحْذِيرِ عَنِ الدَّيْنِ وَالزَّجْرِ عَنِ الْمُمَاطَلَةِ وَالتَّقْصِيرِ فِي الْأَدَاءِ أَوْ كَرَاهَةَ أن يوقف دعاءه بِسَبَبِ مَا عَلَيْهِ مِنْ حُقُوقِ النَّاسِ وَمَظَالِمِهِمْ

“Penahanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyalati seorang (jenazah) yang berhutang, baik untuk peringatan terhadap hutang dan dan peringatan keras  terhadap sikap menunda pembayaran, meremehkan pelunasan atau kebencian dari doanya tertahan disebabkan apa yang ditanggungnya dari hak-hak manusia dan kezhalimannya.” Lihat kitab Tuhfat Al Ahwadzi, 4/153.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

قال العلماء كأن الذي فعله صلى الله عليه و سلم من ترك الصلاة على من عليه دين لِيُحَرِّضَ النَّاسَ عَلَى قَضَاءِ الدَّيْونِ فِي حَيَاتِهِمْ وَالتَّوَصُّلِ إلَى الْبَرَاءَةِ مِنْهُا لِئَلَّا تَفُوتَهُمْ صَلَاةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Para ulama berkata: “Seakan-akan yang telah dilakukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berupa tidak menyalati seorang yang mempunyai tanggungan hutang adalah agar menggugah manusia untuk melunasi hutang-hutang di dalam kehidupan mereka dan menyampaika agar berlepas diri darinya, agar tidak lepas dari mereka salatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”

2. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa meminta perlindungan kepada Allah agar tidak terlilit hutang

عَمْرُو بْنُ أَبِى عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ ، وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ » .

Artinya: “’Amr bin Abu ‘Amr berkata: “Aku telah mendengar Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-MU dari rasa gundah, sedih lemah, malas, pengecut, sikap bakhil, beratnya hutang dan dikalahkan musuh.” HR. Bukhari.

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ » .

Artinya: “’Urwah meriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering berdoa di dalam shalat, beliau mengucapkan: “Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang banyak”, lalu ada yang bertanya kepada beliau: “Alangkah seringnya engkau meminta perlindungan dari banyak hutang, wahai Rasulullah?!”, beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang jika ia banyatk hutang niscaya ia berdusta dan jika berjanj, niscaya ia ingkar.” HR. Bukhari.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَدْعُو بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الْعَدُوِّ وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ ».

Artinya: “Abdullah bin ‘Amr bin Ash meriawayatkan bahwa Rasulullah shalllahu ‘alaihi wasallam sering berdoa dengan doa-doa beriku ini: “Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari beratnya hutang, dikalahkan musuh dan keburukan para musuh.” HR. An Nasai

Dari hadits-hadits di atas, kita lihat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam sangat sering meminta perlindungan kepada Allah dari terjebak dan terlilik dari hutang, padahal kalau kita ingin teliti bukankah berhutang boleh dan dihalalkan?

 {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” QS. Al Baqarah: 282

Coba perhatikan penjelasan beberapa ulama:

1. Syeikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah:

 هذه آية الدين، وهي أطول آيات القرآن، وقد اشتملت على أحكام عظيمة جليلة المنفعة والمقدار، أحدها: أنه تجوز جميع أنواع المداينات من سلم وغيره، لأن الله أخبر عن المداينة التي عليها المؤمنون إخبار مقرر لها ذاكرا أحكامها، وذلك يدل على الجواز

 “Ini adalah ayat hutang, dan ia adalah ayat Al Quran yang paling panjang, dan ayat ini mencakup hukum-hukum yang besar dan bermanfaat serta mempunyai kedudukan, yang pertama; bahwa diperbolehkan seluruh macam hutang dari salam dan yang lainnya, karena Allah mengkhabarkan tentang perhutangan yang dilakukan kaum beriman sebagai kabar yang menetapkan untuk hal tersebut, dengan menyembutkan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, dan hal itu menunjukkan atas kebolehan.” Lihat Tafsir As Sa’di, hal 118 (asy Syamela)

2. Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah terhadapa ayat ini:

 ومن فوائد الآية: جواز الدَّين؛ لقوله تعالى: { تداينتم بدين } سواء كان هذا الدَّين ثمن مبيع، أو قرضاً، أو أجرة، أو صداقاً، أو عوض خلع، أو أي دين يكون؛ المهم أن في الآية إثبات الدَّين شرعاً.

 Artinya: “Dan termasuk faidah ayat ini adalah; keboleh berhutang, berdasarkan firman Allah Ta’ala (إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ) “jika kalian berhutang”, baik hutang ini berupa harga barang belian atau pinjaman atau sewa atau mahar atau ganti atas gugatan cerai istri atau hutang apapun bentuknya, yang penting bahwa di dalam ayat terdapat penetapan (bolehnya) hutang secara syariat Islam.” Lihat kitab Kutub Wa Rasail Ibnu Utsaimin rahimahullah, 10/323 (Asy Syamela).

Lalu apa rahasianya dari meminta perlindungan kepada Allah ta’ala agar tidak terlilit hutang?

Mari perhatikan perkataan para ulama di bawah ini:

 Al ‘Aini rahimahullah berkata:

وفيه بشاعة الدين وشدته وتأديته الدائن إلى ارتكاب الكذب والخلف في الوعد اللذين هما من صفات المنافقين

 “Di dalam hadits ini menunjukkan burukknya hutang dan berat serta menyebabkan seorang yang berhutang melakukan dusta dan ingkar janji yang keduanya merupakan sifat dari sifat kaum munafik.” Lihat kitab Umdat Al Qari Syarah Shahih Al Bukhari, 9/384.  

وفيه وجوب الاستعاذة من الدين لأنه يشين في الدنيا والآخرة وعن ابن عمر رضي الله تعالى عنهما عن النبي أنه قال الدين راية الله في الأرض فإذا أراد الله أن يذل عبدا وضعه في عنقه رواه الحاكم وقال صحيح على شرط مسلم

Di dalam hadits ini menunjukkan bahwa minta perlindungan dari hutang, karena menghinakan di dunia dan akhirat, dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hutang adalah bendera Allah di bumi, maka jika Allah ingin menghinakan seorang hamba ia akan letakakkanitu di lehernya.” HR. Al Hakim dan beliau berkata: Hadits shahih sesuai syarat shahih Muslim. Lihat kitab Umdat Al Qari Syarah Shahih Al Bukhari, 9/384.   

والمغرم الذي استعاذ منه صلى الله عليه وسلم إما أن يكون في مباح ولكن لا وجه عنده لقضائه فهو متعرض لهلاك مال أخيه أو يستدين وله إلى القضاء سبيل غير أنه يرى ترك القضاء وهذا لا يصح إلا أذا نزل كلامه على التعليم لأمته أو يستدين من غير حاجة طمعا في مال أخيه ونحو ذلك

“Seorang banyak hutang yang Nabi Mhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bisa disebabkan karena dalam sesuatu yang mubah akan tetapi tidak ada sisi untuknya dalam melunasinya, maka ia bakal menghancurkan harta saudaranya, atau ia berhutang padahal ia mempunyai jalan untuk pelunasan, tetapi ia berinisiatif untuk tidak melunasi, dan hal ini tidak benar, kecuali jika sabda beliau di turunkan perkataan beliau sebagai pembelajaran untuk umatnya atau berhutang dari sesuatu yang tidak diperlukan, karena menginginkan mengambil harta saudaranya, atau yang semisal dengannya.” Lihat kitab ‘Umdat Al Qari Syarh Shahih Bukhari, 9383 (Asy Syamela)

Lain lagi dengan penjelasan Ibnu hajar rahimahullah:

قال بن المنير أراد بهذه الترجمة أن الدين لا يخل بالدين وأن الاستعاذة منه ليست لذاته بل لما يخشى من غوائله

“Ibnul Munir berkata: “Imam BUkhari menginginkan dengan bab ini adalah bahwa hutang tidak mengurangi agama, dan bahwa meminta perlindungan darinya bukan untuk hutangnya, tetapi karena ditakutkan dari keburukan-keburukannya.” Lihat kitab FathAl Bari, 5/61 (Asy Syamela).

قال المهلب يستفاد من هذا الحديث سد الذرائع لأنه صلى الله عليه و سلم استعاذ من الدين لأنه في الغالب ذريعة إلى الكذب في الحديث والخلف في الوعد مع ما لصاحب الدين عليه من المقال اه ويحتمل أن يراد بالاستعاذة من الدين الاستعاذة من الاحتياج إليه حتى لا يقع في هذه الغوائل أو من عدم القدرة على وفائه حتى لا تبقى تبعته ولعل ذلك هو السر في إطلاق الترجمة ثم رأيت في حاشية بن المنير لا تناقض بين الاستعاذة من الدين وجواز الاستدانة لأن الذي استعيذ منه غوائل الدين فمن ادان وسلم منها فقد أعاذه الله وفعل جائزا  

“Al Muhallab berkata: “Diambilkan faedah dari hadits ini adalah penutup untuk jalan-jalan keburukan, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meinta perlindungan dari hutang, karena hutang kebanyakan sarana yang menyampaikan kepada dusta didalam perkataan, dan pengingkaran dalam janji bersamaan dengan apa yang dimiliki oleh yang berhutang dari pembicaraan (orang lain). Dan dimungkin maksud dari meminta perlindungan dari hutang adalah meminta perlindungan dari kebutuhan untuk berhutang sehingga tidak terperosok di dalam keburukan-keburukan ini atau (minta perlindungan dari hutang) agar tidak masuk dari ektidak mampuan untuk melunasinya, sehngga tidak tersisa keburukannya, dan mungkin inilah rahasia dalam judul bab, lalu aku melihat di dalam catatan Ibnul Munir, tidak ada pertentangan anatar meminta perlindungan dari hutang dan bolehnya berhutang karena yang dimintai perlindungan darinya adalah keburukan huitang, mak barangsiap yang berhutang dan terlepas darinya maka sungguh ia telah diberikan perlindungan oleh Allah Ta’ala, dan telah mengerjakan yang diperbolehkan.” Lihat kitab fath Al Bari, 5/61.

Jadi, kalau disimpulkan perkataan ulama di atas adalah, bahwa kenapa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meminta perlindungan dari hutang sedangkan hutang sendiri diperbolehkan dan halal adalah:

  1. Meminta perlindungan dari keperluan untuk berhutang
  2. Atau meminta perlindungan dari keburukan-keburukan yang dihasilkan oleh hutang
  3. Atau meminta perlindungan dari ketidak mampuan untuk melunasi hutang tersebut.
  4. Atau meminta perlindungan dari berhutang tanpa keperluan karena sifat tamak dan rakus terhadap harta orang lain dan tidak diragukan bahwa hal ini diharamkan. Lihat kitab Ahkam Ad Dain Dirasah haditsiyyah Fiqhiyyah, hal. 278. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh ahmad Zainuddin

Kamis,11 Rabiuts Tsani 1434H, Dammam KSA.

Post Comment