Keluarga Muslim

Contoh Tenggang Rasa Antara Suami Istri

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:

Saudaraku seiman…

Salah satu bentuk tenggang rasa adalah “MEMAHAMI DAN MEMAKLUMI KAPAN SUAMI ATAU ISTRI SEDANG MARAH”

Contoh Pertama:

Jadwal marah dan ngomel-ngomelnya suami adalah kalau kerja kecapean atau kepanasan, entah karena pekerjaan luar atau pekerjaan dalam rumah, misalnya memperbaiki genteng rumah di siang hari yang panas, membeli air minum segalon atau tabung di terik sinar matahari dan misal-misal yang lain.

Maka sikap idealnya sang istri adalah memahami keadaan suaminya, memakluminya dan berusaha mencari sesuatu yang dapat meredakan amarah dan omelan suami, dan jangan ikut-ikutan panik atau marah.

Contoh Kedua:

Jadwal cemberut dan bawelnya istri adalah ketika anak-anak terlalu rewel, atau ketika pekerjaan rumah terlalu banyak dan sebagainya.

Maka sikap idealnya sang suami adalah memahami keadaan istrinya, memakluminya dan berusaha mencari sesuatu yang dapat meredakan amarah dan bawelan sang istri, serta jangan sekali-kali ikut-ikutan marah atau bawel.

Inilah yang dicontohkan para generasi salaf Ash Shalih, seperti Abu Ad Darda radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada Ummu ad Darda:

إذا رأيتني غضبت فرضني وإذا رأيتك غضبى رضيتك وإلا لم نصطحب

“Jika kamu melihat aku sedang marah maka maafkanlah aku, jika aku melihatmu dalam keadaan marah, maka aku memaafkan kamu, kalau tidak, kita tidak akan bisa hidup bersama”.

 Dan sikap tenggang rasa seperti inilah yang membuat Imam Ahmad rahimahullah dan istrinya Ummu Shalih, tidak pernah cekcok walau dalam satu permasalahan selama 20 Tahun!!

وَقَالَ أَحْمَدُ أَقَامَتْ أُمُّ صَالِحٍ مَعِي عِشْرِينَ سَنَةً فَمَا اخْتَلَفْت أَنَا وَهِيَ فِي كَلِمَةٍ

“Imam Ahmad Berkata: “Ummu Shalih hidup bersamaku selama 20 tahun dan aku tidak pernah bercekcok dengannya walau hanya satu kata”. Lihat kitab Al Adab Asy Syar’iyyah wa Al Minah Al Mar’iyyah, 2/238, karya Ibnu Muflih Al Maqdisi.

Dan sikap mereka sepertinya tentunya mereka ambil dari ilmu yang mereka pelajari dari Al Quran Al Karim:

{وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ} [البقرة: 228]

Artinya: “Dan para wanita (istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” QS. Al Baqarah: 228.

Ditulis oleh Ahmad Zainuddin

Rabu, 8 Syawwal 1434H, Dammam KSA

Post Comment