بسم الله الرحمن الرحيم , الحمد لله رب العالمين و صلى الله عليه و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Pengertian Ihram
Ihram secara bahasa berasal dari kata أحرم يحرم إحراماً, yaitu seseorang jika berniat haji atau umrah dan melaksanakan sebab dan syarat-syaratnya, siapa yang telah melepaskan pakaian yang membentuk tubuhnya dan menjauhi seluruh perkara yang dilarang syariat Islam ketika ihram, seperti; minyak wangi, nikah, berburu dan semisalnya, berarti dia berihram.
Dan asal kata ihram artinya adalah larangan, seakan-akan seorang yang sedang ihram dilarang dari beberapa hal.
Makna lain dari seorang yang berihram di bulan-bulan suci adalah jika dia masuk ke dalam tanah suci. Lihat kitab An NIhayah fi Gharib Al Atsar, karya Ibnu Al Atsir, 12/3.
Jadi, arti ihram secara mudah dipahami adalah niat masuk ke dalam ibadah haji atau umrah. Lihat kitab Manasik Al Hajj wa al Umrah, karya syeikh DR. Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 190.
Jika seseorang yang ingin melakukan haji atau umrah sampai di miqat, maka dia harus berihram dan sebelum berihram dianjurkan melakukan hal-hal berikut:
1) Dianjurkan memotong kuku, menipiskan kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ ».
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Fitrah manusia ada lima; khitan, menghabiskan bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menipiskan kumis”. HR. Bukhari dan Muslim.
2) Dianjurkan mandi yang mengangkat hadats besar.
عَنْ ثَابِتٍ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَجَرَّدَ لإِهْلاَلِهِ وَاغْتَسَلَ.
Artinya: “Tsabit radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan pernah melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melepaskan pakaiannya dan mandi untuk berihram”. HR. Tirmidzi.
Bahkan wanita haid dan nifaspun dianjurkan mandi untuk berihram:
قَالَ النبي صلى الله عليه و سلم لأسماء بنت عميس رضي الله عنها « اغْتَسِلِى وَاسْتَثْفِرِى بِثَوْبٍ وَأَحْرِمِى ».
Artinya: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wasallam bersabda kepada Asma binti Umais yang sedang nifas dan ingin berihram: “Mandi, tutup dengan pembalut dan beihramlah”. HR. Muslim.
3) Dianjurkan memakai minyak wangi di kepala, janggut dan badan.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيصَ الدُّهْنِ فِى رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika ingin berihram beliau memakai minyak wangi paling wangi yang beliau dapati, maka aku melihat bekas minyak wangi tersebut di kepala dan jenggot beliau setelah”. HR. Muslim.
4) Untuk laki-laki berihram dengan memakai dua kain ihram, dan diutamakan berwarna putih karena dia adalah warna sebaik-baik pakaian.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما, قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: « وَلْيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِى إِزَارٍ وَرِدَاءٍ وَنَعْلَيْنِ ».
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaknya salah seorang dari kalian berihram di dalam (memakai) kain sarung, surban dan dua sandal”. HR. Ahmad.
untuk wanita diperbolehkan memakai pakaian apa saja yang diperbolehkan oleh syari’at ketika keluar rumah.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتِ : الْمُحْرِمَةُ تَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ مَا شَاءَتْ إِلاَّ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ أَوْ زَعْفَرَانٌ وَلاَ تَتَبَرْقَعُ وَلاَ تَلَثَّمُ وَتَسْدُلُ الثَّوْبَ عَلَى وَجْهِهَا إِنْ شَاءَتْ.
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wanita muhrim memakai dari pakaian apa saja yang dia kehendaki kecuali pakaian yang terkena wars (tanaman kuning yang dipakai untuk mewarnai kain) atau za’faran, dan tidak boleh memakai burqu’ (sesuatu yang dipakai menutupi wajah sehingga hampir menutup mata), tidak menutup mulut, dan menjulurkan kain di atas wajahnya jika dia menginginkan”. HR. Al Baihaqi dan dishahihkan di dalam kitab Irwa Al Ghalil, 4/212.
5) Ketika sudah di atas kendaraan menghadap kiblat dan berniat di dalam hati untuk melakukan manasik.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ أَهَلَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ اسْتَوَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ قَائِمَةً .
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berihram ketika hewan tunggangannya berdiri tegak”. HR. Bukhari.
Bagi yang berhaji tamattu’ berniat melaksanakan ibadah umrah, dan mengucapkan: “Allahumma labbaika ‘umratan” atau “Labbaika Umratan“.
Bagi yang haji qiran berniat melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersamaan dan mengucapkan: “Allahumma labbaika umratan wa hajjan” atau “labbaika umratan wa hajjan “,
sedangkan bagi yang haji ifrad berniat melaksanakn ibadah haji saja dan mengatakan: “Labbaika hajjan” atau “Allahumma labbaika hajjan”.
6) Apabila khawatir tidak bisa menyempurnakan umrah maupun hajinya, disyari’atkan mengucapkan:
إِنْ حَبَسَنِيْ حَابِسٌ فَمَحِلّيِ حَيْثُ حَبَسْتَنِيْ
Artinya: “Jika ada sesuatu yang menghalangiku maka tempat bertahallulku dimana Engkau menahanku”. HR. Bukhari dan Muslim.
Mulai di sini dia merupakan orang yang berihram atau disebut Muhrim.
Dan semenjak itu disunnahkan baginya membaca talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ“
Disunnahkan untuk mengeraskan suara dalam membaca talbiyah bagi laki-laki,
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « جَاءَنِى جِبْرِيلُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ أَصْحَابَكَ فَلْيَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ فَإِنَّهَا مِنْ شِعَارِ الْحَجِّ ».
Artinya: “Zaid bin Khalid al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jibril telah mendatangiku, lalu berkata: “Wahai Muhammad perintahkan shahabat-shahabatmu agar mengangkat suara mereka dengan mengucapkan talbiyah, karena sesungguhnya ia adalah syiar haji”. HR. Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 830.
sedang bagi wanita hanya dengan suara yang rendah.
Talbiyah ini terus dibaca dan berhenti sampai ingin melaksanakan thawaf
Dan semenjak itu pula sudah diberlakukan baginya larangan-larangan ihram, diantaranya;
1) Bersetubuh sebelum tahallul awal. Dalilnya Firman Allah Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. QS. Al Baqarah: 197.
Rafats artinya bersetubuh. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/242.
Barangsiapa bersetubuh sebelum tahallul awal, maka:
- Dia berdosa
- Hajinya telah batal
- Harus melanjutkan sisa manasik haji
- Wajib melaksanakan haji pada tahun selanjutnya
- Wajib membayar fidyah dengan menyembelih sapi atau onta lalu dibagikan kepada para fakir di tanah suci dan tidak memakan darinya.
Namun bila bersetubuh setelah tahallul awal dan belum melakukan thawaf ifadhah:
- Dia berdosa
- Hajinya sah
- Dia harus memperbarui ihram dia yaitu dengan pergi keluar tanah haram dengan pakaian ihram memulai ihram di sana kemudian ke Makkah untuk thawaf Ifadhah.
- Dia juga diwajibkan membayar fidyah, yaitu menyembelih kambing dan dibagikan kepada fakir miskin di tanah suci dan tidak memakan darinya.
Apabila seorang istri dipaksa bersetubuh oleh suaminya maka dia tidak terkena hukuman apabila telah menolak semampu mungkin.
Apabila seseorang ihram bersetubuh karena lupa maka tidak terkena hukuman.
2) Memakai pakaian berjahit bagi laki-laki. Dalilnya, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalllam ketika ditanya tentang pakaian muhrim:
لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
Artinya: “Janganlah kalian memakai ghamis, surban, celana, burnus (baju yang mempunyai penutup kepala) serta sepatu khuf (yang menutupi dua mata kaki) kecuali seseorang yang tidak mempunyai sandal, maka hendaknya ia memakai sepatu khuf dan memotong di bawah dua mata kaki”. HR. Bukhari dan Muslim.
3) Menutup kepala bagi laki-laki.
Yang dimaksud penutup kepala seperti; peci, topi, sorban atau lainnya yang menutup dan menempel di kepala. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang pakaian muhrim:
لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ
Artinya: “Janganlah kalian memakai ghamis, surban, celana, burnus (baju yang mempunyai penutup kepala)…”.HR. Bukhari dan Muslim.
Apabila penutup itu berjauhan dengan kepala maka diperbolehkan, seperti atap mobil atap rumah, tenda, payung dan yang lainnya. Dalilnya:
عَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ رضي الله عنها قَالَتْ حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُ أُسَامَةَ وَبِلاَلاً وَأَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَالآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ لِيَسْتُرَهُ مِنَ الْحَرِّ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ. رواه مسلم
Artinya: “Ummul Hushain radhiyallahu ‘anha berkata: “Aku pernah menunaikan haji bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Haji Wada’, aku melihat Usamah dan Bilal, salah seorang dari keduanya menuntut tali kekang onta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang lain mengangkat kainnya untuk melindungi beliau dari panas, sehingga beliau melempar Jumrah ‘Aqabah“. HR. Muslim.
4) Memakai cadar atau kaos tangan bagi wanita.
Bagi wanita muhrim tidak diperbolehkan menutup mukanya dan tidak boleh mengenakan sarung tangan. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang pakaian muhrim:
لاَ تَنْتَقِبُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ .
Artinya: “Seorang wanita muhrim tidak boleh memakai niqab dan dua sarung tangan“. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Kecuali apabila di depan para laki-laki yang bukan mahram, maka tetap menutup mukanya tanpa mengikatnya di wajah. Dalilnya:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا إِلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ.
Artinya: “Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Ada dua pengendara melewati kami dan kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan muhrim, jika mereka melewati kami maka seorang dari kami mengulurkan jilbabnya dari kepala sampai ke wajahnya, jika telah lewat maka kami buka (jilbab kami)”. HR. Abu Daud dan dihasankan haditsnya oleh Al Albani sebagai riwayat pembantu di dalam Jilbabul Mar’ah.
5) Memakai wewangian
Bagi yang berihram dilarang memakai wangi-wangian, kecuali aroma yang tersisa yang dipakai sebelum ihram. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَلاَ تَلْبَسُوا شَيْئًا مِنَ الثِّيَابِ مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ
Artinya: “Janganlah kalian memakai pakain yang terkena Za’faran (sejenis minyak wangi) dan wars (tanaman yang digunakan untuk mewarnai sutera)”. HR. Bukhari dan Muslim.
6) Mencukur atau menggundul rambut kepala
Dilarang mengambil rambut kepala dengan cara dicukur, dicabut, dibakar atau cara yang lain. Larangan ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Dalilnya Firman Alah Ta’ala:
وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ .
Artinya: “Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya”. QS. Al Baqarah: 196.
7) Memotong atau mencabut kuku
8) Bercumbu
Saat ihram tidak diperbolehkan bercumbu atau melakukan perbuatan yang mengawali persetubuhan seperti bercengkrama yang menimbulkan syahwat, berpelukan, berciuman, berpegangan yang disertai dengan syahwat. Dalilnya Firman Allah Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ.
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. Al Baqarah: 197
9) Meminang atau melakukan akad nikah.
Selama ihram tidak diperbolehkan meminang atau melakukan akad nikah. Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لا يَنْكِحُ المحرِمُ، ولا يُنْكِح، ولا يخطب [ولا يُخطب عليه].
Artinya: “Seorang muhrim tidak menikahi atau menikahkan atau melamar (atau dilamar). HR. Muslim.
Dan jika larangan ini dilanggar maka tidak ada ada fidyah baginya akan tetapi dia harus bertaubat karena telah melakukan salah satu larangan ihram.
10) Berbuat kefasikan dan kekerasan seperti bertengkar, berkelahi dan semisalnya
Dilarang dalam ibadah haji melakukan kefasikan, dalilnya Firman Allah Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji”. QS. Al Baqarah: 197.
11) Berburu binatang darat.
Apabila seseorang yang berihram berburu binatang darat, maka dia dihukum dengan;
Menyembelih binatang ternak yang setara dan mirip dengan binatang buruannya, seperti apabila membunuh kijang dia harus menyembelih kambing yang bukan domba dan seterusnya.Yang menentukan kemiripan ini adalah dua orang yang adil (shalih).
Apabila tidak mendapatkan binatang ternak yang setara maka memilih salah satu diantara dua hal:
- Buruan itu dihargai dengan uang dan uang itu dipakai untuk membeli makanan yang disedekahkan bagi fakir miskin untuk setiap miskin setengah sha’ (sekitar dua setengah liter).
- Atau memperkirakan harganya kalau dipakai membeli makanan mendapatkan berapa sha’, lalu untuk setiap sha’ berpuasa satu hari. Dalil Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاء مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا الله عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ الله مِنْهُ والله عَزِيزٌ ذُو انْتِقَام.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”. QS. Al Maidah: 95.
Pembagian-pembagian penting tentang Larangan-larang ihram dan Fidyah (sangsi)nya:
Pelaku larangan ihram tidak melebihi tiga keadaan;
1) Pelaku sengaja dan tidak ada alasan, maka dia harus bayar fidyah dan berdosa.
2) Pelaku sengaja dan mempunyai alasan yang dibenarkan syariat, maka dia harus bayar fidyah dan tidak dianggap berdosa.
3) Pelaku tidak sengaja, tidak mengetahui, dipaksa atau dalam keadaan tidur, maka dia tidak dikenakan sangsi apa-apa, meskpun dia bersetubuh.
Pembagian Larangan Ihram berdasarkan fidyah:
1) Larangan ihram yang tidak ada fidyah, seperti akad nikah.
2) Larangan ihram yang fidyahnya menyembelih onta atau sapi adalah bersetubuh sebelum tahallul awal.
3) arangan ihram yang fidyahnya menyembelih hewan sepertinya, atau semisal dengannya atau bersedekah dengan seharganya adalah berburu hewan buruan darat yang liar.
4) Larangan ihram yang fidyahnya boleh menyembelih kambing, atau puasa 3 hari di tanah suci atau memberi makan kepada 6 fakir miskin adalah; mencukur rambut, mengunting kuku, memakai minyak wangi, menutup kepala bagi laki-laki dan memakai pakaian yang berjahit. Lihat kitab Jami’ Al Manasik, karya Syeikh Sulthan Al ‘Ied, hal. 83-86.
Ditulis dan diperbaharui oleh Ahmad Zainuddin
Selasa, 27 Dzulqa’dah 1433H Dammam KSA