بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ:
Saudaraku seiman…
Setelah tulisan bagian pertama sampai ke lima, ternyata banyak yang bertanya tentang: “Bukankah hutang diperbolehkan oleh syariat Islam, tetapi kenapa diancam dengan hukuman di akhirat? Kenapa tercela menurut syariat? Dan semisalnya…
Nah, untuk menjawab pertanyaan-pertanyan di atas, maka tulisan di bawah ini terdapat pembagian TENTANG KEADAAN-KEADAAN ORANG BERHUTANG sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan :
Keadaan pertama: Seorang yang meninggal dalam keadaan berhutang dan meninggalkan harta yang digunakan untuk pelunasan hutangnya.
Jika seorang meninggal dalam keadaan mempunyai tanggungan hutang dan ia meninggalkan harta untuk melunasinya, maka orang ini tidak berdosa atasnya jika dilunasi hutangnya setelah kematiannya, karena sikap peremehan pada waktu itu timbul dari para ahli waris, karena seluruh tanggungan pelunasan hutangnya berkaitan dengan harta warisnya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ الْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ الدَّيْنُ فَيَسْأَلُ « هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلاً » . فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ لِدَيْنِهِ وَفَاءً صَلَّى ، وَإِلاَّ قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ « صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ » .
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering di datangkan seorang mayat yang menanggung hutang, maka beliau bertanya: “Apakah ia meninggalkan harta pelunasan untuk hutangnya?”, jika diberitahukan bahwa ia meninggalkan harta pelunasan untuk hutangnya maka beliau menyalatinya dan jika tidak maka beliau akan bersabda kepada kaum muslim: “Salatilah jenazah kalian.” HR. Bukhari.
Keadaan Kedua: Seorang yang meninggal dalam keadaan berhutang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasi hutangnya
Keadaan kedua ini mempunyai dua potret:
Potret pertama: Jika berhutang dalam rangka maksiat atau dengan niat tidak melunasinya
Jika seorang yang berhutang untuk kerusakan, maksiat atau ingin berlebih-lebihan atau berhutang dengan niat tidak melunasinya, maka orang seperti ini berdosa dan dihukum pada hari kiamat, karena ia tidak diberikan udzur dengan hutang, karena ia bermaksud menghancurkan harta seorang muslim tanpa kebenaran, dan ini termasuk memakan harta orang lain dengan kebatilan, Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ } [النساء: 29]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” QS. An NiSa’; 29.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ » .
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain, dan ia ingin melunasi,niscaya Allah akan (membantu) melunasi atasnya. Dan barangsiapa yang mengambil harta dan ingin menghilangkannya, niscaya Allah akan menghilangkannya.” HR. Bukhari.
Al Mulla Ali Qari rahimahullah berkata:
أو حال كونه يريد إتلافها يعني قصده مجرد الأخذ ولا ينظر إلى الأداء
“(Maksudnya adalah) atau ketika keadaannya ingin menghialngkannya yaitu tujuannya hanya mengambil dan tidak memperhatikan pelunasan.” Lihat Kitab Umdat Al Qari, 19/92 (Asy Syamela).
Oleh sebab inilah Ibnu Hajar Al Haitami menyebutkan salah satu dosa besar adalah berhutang dengan niat tidak melunasinya.
( الْكَبِيرَةُ الْخَامِسَةُ وَالسَّادِسَةُ بَعْدَ الْمِائَتَيْنِ : الِاسْتِدَانَةُ مَعَ نِيَّتِهِ عَدَمَ الْوَفَاءِ أَوْ عَدَمَ رَجَائِهِ بِأَنْ لَمْ يُضْطَرَّ وَلَا كَانَ لَهُ جِهَةٌ ظَاهِرَةٌ يَفِي مِنْهَا وَالدَّائِنُ جَاهِلٌ بِحَالِهِ )
“Dosa besar ke 205 dan 206: berhutang dengan niat tidak melunasi atau tidak berharap akan (dapat melunasi)nya dengan cara ia tidak dalam kesulitan dan ia tidak memiliki sisi yang jelas yang dapat melunasi dari (hutang)nya dan orang yang menghutangi tidak sadar dengan keadaannya.” Lihat kitab Az Zawajir ‘An iqtiraf Al Kabair, 2/151 (Asy Syamela)
Potret kedua: jika berhutang selain dalam rangka bermaksiat dan berniat melunasi
Orang seperti ini tidak berdosa dan tidak termasuk mendapat ancaman celaan dalam hadits-hadits tentang hutang bahkan Allah akan membantunya untuk melunasinya. Silahkan perhatikan penjelasan beberapa ulama:
Ath Thibi rahimahullah berkata:
أي من استقرض احتياجا وهو يقصد داءه ويجتهد فيه أدى الله عنه أي أعانه على إدائه في الدنيا أو أرضى خصمه في العقبى ومن أخذ يريد إتلافها أي ومن استقرض من غير احتياج ولم يقصد إداءه أتلفه الله عليه أي لم يعنه ولم يوسع عليه رزقه بل يتلف ماله لأنه قصد إتلاف مال مسلم
“Maksudnya adalah barangsiapa yang berhutang karena kebutuhan dan ia berniat untuk melunasinya dan bersungguh-sungguh di dalam pelunasannya, niscya Allah akan membantu melunasinya di dunia atau membuat rela lawannya di akhirat dan barangsiapa yang ingin menghancurkannya maksudnya adalah barangsiapa yang berhutang tanpa keperluan dan tidak berniat melunasinya, maka niscaya Allah akan menghancurkannya, yaitu maksudnya adalah Allah tidak menolongnya dan tidak akan meluaskan rezekinya bahkan menghilangkan hartanya, karena ia bersengaja menghilangkan harta seorang muslim.” Lihat kitab Mirqat AL Mafatih, 9/374.
Ibnu Hajar Al ‘Asqalani rahimahullah berkata:
من مات قبل الوفاء بغير تقصير منه كأن يعسر مثلا أو يفجأه الموت وله مال مخبوء وكانت نيته وفاء دينه ولم يوف عنه في الدنيا ويمكن حمل حديث ميمونة على الغالب والظاهر أنه لا تبعة عليه والحالة هذه في الآخرة بحيث يؤخذ من حسناته لصاحب الدين بل يتكفل الله عنه لصاحب الدين كما دل عليه حديث الباب
“Barangsiapa yang meninggal sebelum melunasi (hutangnya) tapa sikapa meremhkan dari seperti seorang yang sulit bayar hutang atau kematian tiba-tiba mendatanginya dan ia mempunyai harta yang tersembunyi dan niatnya adalah melunasi hutangnya tetapi belum dilunasinya di dunia. Dan dapat dibawakan hadits dari Maimunah (dalam keadaan mayoritas). Dan secara lahiriah bahwa ia tidak mempunyai dosa atasnya ketika keadaannya seperti ini di dalam kehidupan akhirat, yang mana akan diambil dari kebaikannya untuk seorang yang menghutangnya, bahkan Allah menanggung hutang untuk atas hutangnya kepada yang menghutangnya sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits.” Lihat kitab Fathul Bari, 5/54.
Jadi ringkasnya, bahwa hutang yang di dalamnya terdapat riwayat ancaman-ancaman keras, maka hal ini boleh dilakukan kecuali jika seorang yang berhutang masuk dalam keadaan-keadaan di bawah ini:
Keadaan Pertama: Jika seorang yang berhutang dengan niat tidak ingin mengembalikan, maka orang ini berdosa baik ia meninggal dalam keadaan belum melunasinya atau sulit bayar ketika masa hidupnya.
Keadaan Kedua: Jika mengambil hutang untuk merusak harta orang lain atau ingin berlebih-lebihan, sebagaimana berhutang untuk memperkaya diri, mengendarai kendaraan yang mewah atau rumah yang mewah atau berhutang karena ingin melakukan maksiat seperti ingin membeli permainan dan obat-obatan yang diharamkan karena memabukkan atau berhutang harta yang banyak tanpa ada sebuah keperluan padahal ia mengetahui bahwa ia tidak mampu melunasinya ketika sudah jatuh batas temponya.
Keadaan Ketiga: jika seorang berhutang meninggal dalam keadaan masih mempunyai tanggungan hutang dan ia telah meremehkan untuk memberikan jaminan pada hutang tersebut atau meremehkan memberikan saksi atas hutangnya atau menulis hutangnya atau meremehkan menulis wasiat sehingga ahli waris tidak mengetahui keberadaan hutangnya. lihat kitab Ahkam Ad Dain Dirasat Haditsiyyah Fiqhiyyah, karya Sulaiman bin Abdullagh Al Qushair, hal. 343-349.
Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Sabtu, 20 Rabiuts Tsani 1434H, Dammam KSA.