Targhib Wa Tarhib

Tanpa Malu dan Karena Malu (Malu, Berlian yang Hilang)

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:

TANPA MALU ia berbuat syirik; minta berkah kepada orang sudah mati, meletakkan sesajen, memakai jimat, percaya dukun atau tukang ramal, dsb, bahkan sampai mengajak orang dan promosi!
TANPA MALU ia berbuat bid’ah bahkan mengajak kaum muslim lainnya
TANPA MALU ia berzina atau menyebarkan sarana untuknya; baik dengan foto syur, majalah unlimited aurat, video panas dsb, bahkan terkadang berani diwawancarai tentang perzinahannya bahkan lagi membela diri atas nama hak asasi manusia!
TANPA MALU ia korupsi, maling harta orang banyak, bahkan sudah terbukti masih ngeles dan berlaku sok suci!
TANPA MALU ia meminum khamr bahkan sampai mati
TANPA MALU wanita muslimah ini membuka auratnya, bahkan dengan dalih mencari yang berbakat, diberi hadiah hanya puluhan juta.
TANPA MALU…TANPA MALU…TANPA MALU…masih banyak yang lain, semua ternyata sumbernya adalah dilakukan TANPA RASA MALU!
OLEH SEBAB ITULAH ISLAM SANGAT MEMPERHATIKAN DAN MENYANJUNGKAN SIFAT MALU, AGAR TIDAK TERJADI PERIHAL DIATAS;

Sifat malu adalah ciri dominan dari akhlak islamy:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا وَخُلُقُ الإِسْلاَمِ الْحَيَاءُ ».

Artinya: “Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya setiap ajaran memiliki akhlak yang (khusus) dan (ciri dominan) akhlak isla adalah sifat malu.” HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 940.
Sifat malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan, entah dengan cara menimbulkan rasa untuk berbuat baik atau dengan cara menumbuhkan rasa untuk menjauhi maksiat.

أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ حَدَّثَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ فِى رَهْطٍ مِنَّا وَفِينَا بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ فَحَدَّثَنَا عِمْرَانُ يَوْمَئِذٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ ». قَالَ أَوْ قَالَ « الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ ».

Artinya: “Abu Qatadah meriwayatkan: “Kami pernah bersama Imran bin Hushain dalam beberapa orang dari kami dan di situ terdapat Busyair bin Ka’ab, lalu Imran pada hari itu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malu kebaikan seluruhnya”, atau beliau bersabda: “Malu itu seluruhnya baik”. HR. Muslim.

عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ » . فَقَالَ بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ مَكْتُوبٌ فِى الْحِكْمَةِ إِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ وَقَارًا ، وَإِنَّ مِنَ الْحَيَاءِ سَكِينَةً . فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَتُحَدِّثُنِى عَنْ صَحِيفَتِكَ .

Artinya: “Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”. Lalu Busyair bin Ka’ab berkata: “Tertulis di dalam perkataan bijak; sesungguhnya sebagian dari malu itu adalah kewibaan dan sesungguhnya sebagian dari malu adalah ketenangan”, Imran bin Hushain menanggapinya: “Aku meriwayatkan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam malah kamu meriwayatkan dari lembaran-lembaranmu.” HR. Bukhari
Berkata Salman Al Farisy radhiyallahu ‘anhu:

وعن سلمانَ الفارسي قال : إنَّ الله إذا أرادَ بعبدٍ هلاكاً ، نزَعَ منه الحياءَ ، فإذا نزعَ منه الحياءَ ، لم تلقه إلاَّ مقيتاً مُمقَّتاً، فإذا كان مقيتاً ممقتاً، نزع منه الأمانةَ ، فلم تلقه إلا خائناً مخوَّناً ، فإذا كان خائناً مخوناً ، نزع منه الرحمة ، فلم تلقه إلا فظاً غليظاً ، فإذا كان فظاً غليظاً ، نزع رِبْقَ الإيمان من عنقه ، فإذا نزع رِبْقَ الإيمان من عنقه لم تلقه إلا شيطاناً لعيناً ملعناً.

“Sesungguhnya Allah jika menginginkan kepada seorang hamba kebinasaan, niscaya akan dilepas darinya sifat malu, lalu jika dicabut darinya sifat malu maka kamu tidak akan menemuinya kecuali dalam keadaan benar-benar dimurkai, dan jika ia dalah keadaan benar-benar dimurkai maka akan dicabut darinya amanah, maka tidaklah kamu tidak aka mendapatinya kecuali dalam keadaan berkhianat dan dikhianati, dan jika ia dalam keadaan berkhianat dan dikhianati maka niscaya akan dilepas darinya kasih sayang, dan tidaklah kamu menemuinya kecuali dalam keadaan keras pemarah, dan jika keras pemarah maka akan dilepas darinya tali iman dari lehernya, dan jika dilepas tali iman dari lehernya maka kamu tidak mendapatinya kecuali sebagai setan yang benar-benar dikutuk.” Lihat kitab Hilyat Al Auliya’, 1/204.
Berkata Al hafizh Ibnu Rajab Al Hambly:

فإنَّ الحياءَ الممدوح في كلام النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – إنَّما يُريد به الخُلُقَ الذي يَحُثُّ على فعل الجميل ، وتركِ القبيح ، فأمَّا الضعف والعجزُ الذي يوجب التقصيرَ في شيء من حقوق الله أو حقوق عباده ، فليس هو من الحياء ، إنَّما هو ضعفٌ وخَوَرٌ ، وعجزٌ ومهانة ، والله أعلم .

“Sesungguhnya malu yang terpuji di dalam perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, yang diinginkan dengannya hanya akhlak yang memerintahkan utnuk melakukan perbuatan yang baik, meninggalkan keburukan. Dan adapun kelemahan dan keloyoan yang mewajibkan peremehan dalam beberapa hak dari hak-hak Allah atau hak-haknya hamba-Nya, maka ini adalah bukan dari malu, tetapi ia hanyalah kelemahan, kerancuan, keloyoan dan kehinaan. Wallahu a’lam.” Lihat kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, 6/22.
Sifat malu selalu menunjukkan dan bergandengan dengan keimanan, jika terangkat salah satunya dari diri seseorang maka akan terangkat kedua-duanya.

عن ابن عمر قال: قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إنَّ الْحَيَاءَ وَالإِيمَانَ قُرِنَا جَمِيعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الآخَرُ»

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya sifat malu dan iman bergandengan selalu, jika diangkat salah satunya, maka niscaya diangkat yang lain.” HR. Al Hakim dan Bukhari dalam kitab Al Adab Al Mufrad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab shahih Al Adab Al Mufrad, 1313/991.
Sifat malu akan selalu menghiasi kehidupan seseorang dengan keindahan perkataan dan perbuatan

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَا كَانَ الْفُحْشُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ شَانَهُ وَلاَ كَانَ الْحَيَاءُ فِى شَىْءٍ قَطُّ إِلاَّ زَانَهُ ».

Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah pernah perbuatan keji/kotor ada pada sesuatu kecuali akan memburukkannya dan tidaklah pernah sifat malu ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya.”
Sifat malu yang akan menjaga kepala dan anggota yang ada padanya, tidak melihat kecuali yang halal, tidak mendengar kecuali yang halal tidak berkata kecuali yang mendatangkan kebaikan dan pahala, yang akan menjagaperut, tidak makan kecuali yang halal, yang akan menjaga kemaluan tidak diletakkan kecuali ditempat yang sah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ». قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَسْتَحْيِى وَالْحَمْدُ لِلَّهِ. قَالَ « لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَتَتَذَكَّرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ».

Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malulah kalian dari Allah dengan sebenar-benar malu”, kami berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sungguhnya malu dan Alhamdulillah”, beliau bersabda: “Bukan itu, akan tetapi malu dari Allah dengan sebenar-benar malau adalah kamu menjaga kepada dan apa yang ia pikirkan dan menjaga perut dan ia inginkan dan mengingat kematian dan kehancuran, barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, niscaya ia akan meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa yang melakukan itu niscaya ia telah malu dari Allah dengan sebenar-benar malu.” HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Sunan At Tirmidzi, no. 2458.
Berkata Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah:

قال يحيى بن جعدة إذا رأيت الرجل قليل الحياء فاعلم أنه مدخول في نسبه

“Yahya bin Ju’dah berkata: “Jika kamu melihat seseorang sedikit malunya, maka ketahuliah bahwa ia tercampur di dalam nasabnya.” Lihat kitab Raudhat Al ‘Uqala’ wa Nuzhat Al Fudhala’, hal. 59.

Kawan pembaca yang budiman dan seiman…
Di bawah ini bukan malu yang dibenarkan oleh syariat:
1. Tidak melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar karena malu
2. Tidak mendirikan shalat pada waktunya di tengah-tengah orang yang tidak shalat karena malu
3. Tidak menutup aurat ketika berkumpul dengan teman wanita muslimah lainnya yang juga tidak menutup karena malu dikatakan sok suci atau dikatakan kampungan nggak sosialita
4. Tidak menolak berjabat tangan dengan bukan mahramnya karena malu dikatain orang sombong
5. Tidak mengatakan “saya tidak tahu” ketika ditanya pertanyaan agama yang ia tidak paham, karena malu dikira kurang ilmu apalagi dihadapan jamaahnya
6. Tidak mau bertanya tentang perkara agama karena malu
7. Tidak mau dipisah antara lelaki dan perempuan, terjadi ikhtilath, karena malu dikatakan tidak gaul.
8. Dan masih banyak yang lain dari perbuatan yang berupa maksiat dilakukan baik sengaja atau terpaksa padahal bisa mengelak, hanya KARENA MALU YANG KELIRU!

TERAKHIR COBA PERHATIKAN CERITA DI BAWAH INI:
“Abu Hamid Al Khalqany pernah menemui Imam Ahmad rahimahullah, lalu ia membacakan sajak sya’ir di hadapan beliau:
إِذَا مَا قَالَ لي رَبِّي *  أَمَا اسْتَحْيَيْتَ تعْصِيني
وَتُخْفِي الذَّنبَ مِن خَلْقِي *  وَبالعِصْيانِ تَأْتِيني
فما قولي له لما … يعاتبني ويقصيني
Artinya:
“Jika suatu saat Rabbku berkata kepadaku… Apakah kamu tidak malu ketika kamu bermkasiat kepada-Ku”
“Dan kamu sembunyikan dosa dari makhluk-makhluk-Ku…sedangkan kamu mendatangi dengan maksiat-maksiat”
“Lalu apa Perkataan-Ku baginya ketika… Dia menghukum dan mengadiliku”
Lalu Imam Ahmad rahimahullah minta diulang sya’ir tersebut dan ketika diulang beliaupun masuk ke dalam rumahnya sambil mengulang-ngulang sya’ir tersebut dalam keadaan tersedu-sedu menangis. Lihat kitab Manaqib Al Imam Ahmad dan kitab Talbis Iblis, hal: 278, karya Ibnul Jauzy rahimahumallah.

Ditulis oleh Ahmad Zainuddin
Selasa, 21 Dzulhijjah 1433H, Dammam Arab Saudi

 

 

 

 

Post Comment