بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
Di bawah ini hal-hal yang disunnahkan seputar hari raya:
1. Diwajibkan mengeluarkan Zakat Fithr atau Fitrah, diwajibkan bagi setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan pokoknya pada hari dan malam lebaran, merdeka atau budak, lelaki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa, sebanyak 1 sha’ (2,4kg atau 2,5kg atau 3kg –terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama) dari makanan pokok setempat, dimulai dari terbenam matahari sampai sebelum shalat id diberikan kepada para miskin dan fakir, sebagai pensucian bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan rafats serta makanan bagi kaum miskin dan fakir.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamtelah mewajibkan zakat fithr dari Ramadhan atas manusia 1 sha’ dari kurma atau sha’ dari tepung atas setiap orang merdeka atau budak, lelaki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa dari kaum muslim”. HR. Bukhari dan Muslim.
Dalam riwayat Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ‘anhu:
صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
Artinya: “1 sha’ dari makanan…”. HR. Muslim.
maksudnya adalah makanan pokok disebabkan penjelasan dari riwayat selanjutnya yaitu penyebutan beberapa makanan pokok yang dimakan oleh manusia.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.
Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mengeluarkan zakat fithr sebelum keluarnya orang-orang (dari kaum muslim) menuju shalat id”. HR. Muslim.
Dan boleh juga dikeluarkan sehari atau dua hari atau tiga hari sebelum hari raya. Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dari riwayat Bukhari.
2. Mandi pada hari id,
karena para shahabat Nabi Muhammad radhiyallahu ‘anhum mengerjakannya, seperti Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. HR. Malik di dalam al-Muwaththa-‘, no. 2, dan jawaban Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya tentang mandi, beliau berkata:
اغْتَسِلْ كُلَّ يَوْمٍ إِنْ شِئْتَ. فَقَالَ : لاَ الْغُسْلُ الَّذِى هُوَ الْغُسْلُ قَالَ : يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَوْمَ عَرَفَةَ ، وَيَوْمَ النَّحْرِ ، وَيَوْمَ الْفِطْرِ.
Artinya: “Mandilah setiap hari jika kamu menghendakinya”, yang bertanya berkata: “Bukan, mandi yang dimaksudkan adalah mandi yang disunnahkan?”, beliau menjawab: “Mandi hari Jum’at, hari Arafah, hari iduladha dan hari idulfitri”. HR. al-Baihaqi dari jalan asy-Syafi’ie dari Zadzan, lihat Irwa-‘ al-Ghalil, 1/177, karya al-Albani.
3. Dianjurkan membersihkan diri, memakai minyak wangi, bersiwak, sebagaimana disebutkan hadits tentang shalat Jum’at. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
“Dan jika ada minyak wangi maka hendakalah ia pakai dan hendaklah kalian memakai siwak”. HR. Ibnu Majah, no. 1098 dan dihasankan oleh al-Albani, di dalam Shahih Ibnu Majah, 1/326.
4. Memakai pakaian yang paling bagus yang dipunyai, hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Umar mengambil sebuah Jubbah (pakaian) dari istabraq (sutera yang tebal) yang dijual di pasar, lalu beliau bawa dan berikan kepada Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengannya pada hari id dan ketika datang para tamu”, dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ
Artinya: “Sesungguhnya ini adalah hanya pakaian seorang yang tidak mendapat bagian”. HR. Bukhari, no. 938 dan Muslim, no. 2068.
Ibnu Qudamah rahimaullah berkata:
((وهذا يدل على أن التجمُّل عندهم في هذه المواضع كان مشهوراً … وقال مالك: سمعت أهل العلم يستحبون الطيب والزينة في كل عيد، والإمام بذلك أحق؛ لأنه المنظور إليه من بينهم))
“Hal ini menunjukkan bahwa berhias pada kesempatan-kesempatan ini dikenal di kalangan mereka…, dan berkata Imam Malik: “Aku telah mendengar para ulama menganjurkan untuk memakai minyak wangi dan berhias pada setiap id dan pemimpin lebih pantas untuk ini karena yang terlihat di antara mereka”. Lihat al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, 3/257-258.
Dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma memakai pakaiannya yang paling bagus di dalam shalat id. Lihat Fathul bari, 2/439.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وكان يلبس للخروج إليهما أجمل ثيابه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memakai pakaian yang paling bagus ketika keluar menuju shalat id”. Lihat Zaadul Ma’ad, karya Ibnul Qayyim 1/441.
5. Dianjurkan untuk makan beberapa kurma sebelum pergi ke shalat idulfitri dan memakannya dalam jumlah yang ganjil. Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu, beliau bercerita:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ, وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa tidak pergi ke shalat idulfitri sampai beliau makan beberapa buah kurma dan memakannya dalam jumlah yang ganjil”. HR. Bukhari, no. 953.
6. Pergi ke tempat didirikan shalat id dengan berjalan kaki. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar menuju shalat id dengan berjalan kaki dan pulang dengan berjalan kaki”. HR. Ibnu Majah, no. 1295 dan dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah, 1/388.
7. Termasuk dari sunnah, melaksanakan shalat id di mushalla (maksudnya; lapangan luas) dan tidak dilaksanakan di masjid kecuali jika ada keperluan. Berdasarkan riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu;
كَانَ رَسُول اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدأُ بِهِ الصَّلاَةُ
Artinya: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar ke mushalla pada hari idulfitri dan iduladha, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat”. HR. Bukhari, no. 956 dan Muslim, no. 889.
8. Termasuk dari sunnah adalah pergi menuju mushalla dari satu jalan dan pulang dari jalan yang lain.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Artinya: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, jika pada hari id menyelisihi jalan (dari jalan yang beliau lalui ketika beliau berangkat menuju mushalla)”. HR. Bukhari, no. 986
9. Bertakbir ketika menuju tempat shalat id, karena Allah Azza Wa Jalla berfirman:
{ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ الله عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ }
Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan Allah) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. QS. al-Baqarah: 185.
Dan berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/1/2 dan dishahihkan oleh Imam al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no.170, 1/120:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى ، وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ قَطَعَ التَّكْبِيرَ.
Artinya: “Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada idulfitri, beliau bertakbir sampai mendatangi mushalla dan sampai selesai shalat, jika telah selesai shalat beliau memutuskan takbirnya”.
10. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat id. berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada idulfitri, lalu beliau shalat dua raka’at dan tidak shalat sebelum dan sesudahnya dan bersamanya Bilal”. HR. Bukhari, no. 989 dan Muslim, no. 884.
11. Pada shalat id tidak ada adzan dan iqamah serta perkataan “Ash shalatu jaami’ah”. Berdasarkan hadits Jabir bin samurah radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita:
صَلَّيْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – اَلْعِيدَيْنِ, غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ, بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ –
Artinya: “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Idulfitri dan Iduladha tidak sekali atau dua kali, tanpa azan dan iqamah”. HR. Muslim, no. 887.
12. al-‘awatiq (wanita-wanita yang sudah baligh) dan dzawatil khudur (wanita-wanita perawan yang belum menikah dan selalu menutup diri) serta wanita-wanita yang sedang haidh, serta anak dianjurkan untuk pergi ke mushalla dengan menutup aurat dan tidak memakai minyak wangi, agar merasakan kebaikan dan paggilan kaum muslimin pada hari itu. Berdasarkan hadits dari shahabat Ummu ‘Athiyyah radhiyallhu ‘anha, bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَخْرُجُ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ ، أَوِ الْعَوَاتِقُ ذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ ، وَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِينَ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى
Artinya: “Hendaknya al-‘awatiq (waniat-wanita yang sudah baligh) dan dzawatil khudur (wanita-wanita perawan yang belum menikah dan selalu menutup diri) serta wanita-wanita yang sedang haid keluar (untuk pergi ke mushalla) dan menyaksikan kebaikan dan doanya orang-orang beriman dan para wanita yang haid hendaknya menjauhi mushalla”. HR. Bukhari, no. 324 dan Muslim, no. 890.
Sedangkan perintah dianjurkannya anak-anak untuk pergi menuju mushalla id adalah berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: ((خرجت مع النبي – صلى الله عليه وسلم – يوم فطر أو أضحى فصلى العيد ثم خطب، ثم أتى النساء فوعظهن، وذكرهن، وأمرهن بالصدقة))
Artinya: “Aku pernah keluar bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada idulfitri atau iduladha lalu beliau shalat id kemudian berkhutbah, kemudian mendatangi para wanita menasehati dan mengingatkan mereka dan memerintahkan kepada mereka untuk bersedekah”. HR. Bukhari, no. 975 dan beliau (Imam Al Bukhari) memberikan bab di atas hadits ini dengan: “Bab keluarnya anak-anak menuju mushalla ketika hari id”.
13. Shalat dikerjakan secara berjamaah,
Berdasarkan hadits dari shahabat Ummu ‘Athiyyah radhiyallhu ‘anha, bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَخْرُجُ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ ، أَوِ الْعَوَاتِقُ ذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ ، وَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِينَ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى
Artinya: “Hendaknya al-‘awatiq (waniat-wanita yang sudah baligh) dan dzawatil khudur (wanita-wanita perawan yang belum menikah dan selalu menutup diri) serta wanita-wanita yang sedang haid keluar (untuk pergi ke mushalla) dan menyaksikan kebaikan dan doanya orang-orang beriman dan para wanita yang haid hendaknya menjauhi mushalla”. HR. Bukhari, no. 324 dan Muslim, no. 890.
14. Mengucapkan at-tahniah (ucapan selamat) karena hari id, hal ini karena para shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya, mereka mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minka.” Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Kitab Fath al-Bari bi Syarhi Shahih al Bukhari, berkata:
ورُوِّينا في ((المحامليات)) بإسناد حسن عن جبير بن نُفير قال: ((كان أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض: تقبل الله منَّا ومنك))
Artinya: “Telah diriwayatkan kepada kami di dalam al mhamiliyyat dengan sanad yang baik dari Jubair bin Nufair, beliau berkata: “Senantiasa para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika bertemu pada hari id, sebagiannya mengatakan kepada sebagian yang lain: “Taqabbalallahu minna wa minka” (semoga Allah menerima amalan-amalan kita seluruhnya). Lihat Kitab Fath al-Bari bi syarhi shahih al Bukhari, karya Ibnu Hajar, juz 2/hal: 446.
15. Mengqadha-‘ shalat id dua raka’at bagi yang ketinggalan shalat id bersama imam karena lupa atau ketiduran. Imam Bukhari rahimahullah berkata: “Bab jika seseorang ketinggalan shalat id maka dia shalat dua rakaat. Demikian pula para wanita dan yang berada di rumah, diperkampungan berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
« هَذَا عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ »
Artinya: “Hari ini adalah hari id kami, kaum muslimin”, dan Anas bin Malik radhiyallhu ‘anhu telah memerintahkan budaknya Ibnu Abi ‘Utbah yang tinggal di daerah Zawiyah (yaitu daerah dekat kota Bashrah), lalu ia mengumpulan keluarganya dan orang kampung dan shalat sebagaimana shalat dan takbirnya orang kota. Lihat Shahih Bukhari, no. 987.
16. Syarat wajibnya shalat id bagi yang mukim dan jumlahnya seperti orang yang mengerjakan shalat jumat, hal ini karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khalifah setelahnya tidak pernah mendirikan shalat id ketika dalam keadaan safar dan jumlah paling minimal untuk melaksanakan shalat jumat dan juga shalat id adalah tiga orang. Lihat al-Mughni, karya Ibnu Qudamah 3/287.
17. Waktu shalat id mulainya adalah setelah meningginya matahari sekitar satu tombak, hal ini berdasarkan hadits dari Yazid bin humair ar-Rahabi, beliau bercerita: “Pernah Abdullah bin Busr shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar bersama manusia pada hari idulfitri atau iduladha, lalu beliau mengingkari terlambatnya imam, beliau berkata: “Sesungguhnya kami dulu (maksudnya di zaman Rasulullah) telah selesai pada waktu kita sekarang ini, yaitu ketika tasbih (yaitu ketika diperbolehkannya shalat sunnah di pagi hari)”. HR. Abu Daud, no. 1135 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, 1/113.
dan lafazh yang ada di dalam riwayat yang shahih milik ath-Thabarani: “Yaitu ketika shalat duha”. Lihat Fath al-Bari, karya Ibnu Hajar, 2/457.
18. Setelah salam dari shalat id, Imam berkhotbah dengan berdiri memberikan nasehat dan wejangan kepada kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Azza Wa Jalla dan taat kepada-Nya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallah ‘anhu;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
Artinya: “Pernah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju mushalla untuk shalat idulfitri dan iduladha, yang pertama kali beliau mulai adalah shalat id, kemudian setelah selesai beliau berdiri di hadapan orang-orang, dan orang-orang duduk di saf-saf mereka, lalu beliau memberikan nasehat dan wasiat kepada mereka serta memerintahkan mereka, jika beliau ingin mengutus utusan beliau maka beliau mengutusnya atau memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi”. HR. Bukhari, no. 956 dan Muslim, no. 889.
19. Dan termasuk sunnah, Imam berkhotbah di tempat yang agak tinggi, hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma;
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ
Artinya: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri pada hari Idulfitri, kemudian shalat, beliau memulainya dengan shalat, kemudian beliau berkhotbah setelah selesai beliau turun dan mendatangi para wanita, lalu beliau memberikan nasehat dan mengingatkan mereka”. HR. Bukhari, no. 978 dan Muslim, no. 885.
20. Dan bagi yang ikut shalat id maka diperbolehkan mendengarkan khotbah ataupun pergi jika ia mempunyai hajat yang lain, hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Sa-‘ib radhiyallhu ‘anhu;
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Artinya: “Aku menyaksikan id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah selesai shalat beliau bersabda: “Kami berkhotbah, maka barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khotbah maka hendaklah ia dudukm dan barangsiap yang ingin pergi maka silahkan pergi”. HR. Abu Daud, no. 1155 dan an-Nasa-‘i, no. 1570 dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih an-Nasa-‘, 1/510.
21. Bertakbirada dua macam;
1. Takbir Muthlaq, pada hari Idulfitri dimulai dari setelah terbenamnya matahari menandakan hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah Azza Wa Jalla:
{ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ الله عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ }
Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan Allah) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. QS. al-Baqarah:185.
sedangkan pada hari Iduladha dari hari pertama bulan Dzulhijjah sampai terbenamnya matahari menandakan selesainya hari terakhir dari tasyrik, hal ini berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla:
{ وَاذْكُرُواْ الله فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ }
Artinya: “Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang”. QS. al-Baqarah:203.
{ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ الله فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ }
Artinya: “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir”. QS. al-Hajj: 28.
2. Takbir Muqayyad (yang terbatas setiap setelah shalat-shalat fardhu pada hari iduladha saja), waktunya dari setelah shalat shubuh hari Arafah (meskipun ada khilaf di antara para ulama) sampai habis shalat ashar pada hari ketiga belas bulan Dzulhijjah, hal ini berdasarkan pekerjaan dari beberapa shahabat dianataranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khaththab, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhum. Lihat al-Irwa-‘, karya Imam al-Albani, 3/124-125)
Sifat-sifat takbir dengan sanad yang shahih kepada para shahabat Nabi Muhammad radhiyallahu ‘anhum,
• الله أكبر, الله أكبر, لا إله إلا الله و الله أكبر, الله أكبر, و لله الحمد
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallhu ‘anhu, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh al-Albani.
• الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر, و لله الحمد, الله أكبر و أجلّ, الله أكبر على ما هدانا
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqy di dalam Kitab Sunan Al Kubra, 3/315 dan dishahihkan oleh al-Albani.
• الله أكبر, الله أكبر, الله أكبر كبيراً
Dari Salman radhiyallhu ‘anhu, diriwayatkan oleh AbdurRazzaq dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Bari, 2/462. Wallahu a’lam.
Diringkas oleh Ahmad Zainuddin dari Kitab Shalatul Mu’min dan Ash Shiyam Fi Al Islam
Karya: Syeikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani hafizhahullah
Senin, 28 Ramadhan 1433H Dammam KSA